tag:blogger.com,1999:blog-47381098076751997532024-03-19T15:49:38.097+07:00Akhwat Tangguh Seduniasetegar batu karang, tak gentar dihempas ombak lautanUnknownnoreply@blogger.comBlogger59125tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-81740773513855380752011-11-24T14:57:00.000+07:002011-11-24T14:57:54.136+07:00Jangan Mencela bila belum mampu untuk melakukannya<i>Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan hukum yang sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. </i><br />
<br />
Seringkali kita saksikan begitu mudahnya sebagian orang mengolok-ngolok saudaranya yang ingin menjalankan syaria’t. Ada yang berjenggot kadang diolok-olok dengan kambing dan sebagainya. Ada pula yang mengenakan jilbab atau pun cadar juga dikenakan hal yang sama. Seharusnya setiap muslim tahu bahwa perbuatan seperti ini bukanlah dosa biasa. Simak pembahasan berikut agar mendapat penjelasan. Hanya Allah yang memberi taufik.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,<br />
<br />
<div style="text-align: center;">وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ</div><br />
“<i>Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “<b>Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman</b></i>.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)<br />
<br />
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dan para sahabatnya), kecuali sebagai <b>orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh</b>.”<br />
<br />
(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik <i>radhiyallahu ‘anhu</i> berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.”<br />
Maka ‘Auf bin Malik <i>radhiyallahu ‘anhu</i> pun pergi menghadap Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi <b>hanyalah bersenda gurau</b>, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”<br />
<br />
Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”<br />
<br />
Kemudian Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah):<br />
<br />
<div style="text-align: center;">وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ</div><br />
“<i>Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman</i>.” (QS. At-Taubah 9 : 65-66).<br />
<br />
Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam <i>Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul</i> mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah <i>T’ala</i>. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah <i>Ta’ala</i>,<br />
<br />
<div style="text-align: center;">أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ</div>“<i>Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman</i>.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)” -Demikianlah dinukil dari <i>Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul</i>-<br />
<br />
Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah dan ayat-ayat Allah adalah <b>suatu bentuk kekafiran</b>. Dan barang siapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia juga telah mengolok-olok yang lainnya (semuanya). (Lihat <i>Kitab At Tauhid</i>, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 59)<br />
<br />
Perlu diketahui bahwa mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk :<br />
<br />
<b>Pertama</b>, yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surat At Taubah ayat 65-66.<br />
<br />
<b>Kedua</b>, yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah.<br />
Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> seperti mengatakan, ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. (Lihat <i>Kitab At Tauhid</i>, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 62)<br />
<br />
Berikut ini kami akan menukilkan perkataan ulama lainnya untuk mendukung pernyataan di atas.<br />
<br />
<b>Perkataan Pertama</b><br />
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin <i>rahimahullah</i>, seorang ulama besar dan <i>faqih</i> di Saudi Arabia pernah ditanyakan, “<i>Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66 -pen) bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama ini?</i>”<br />
<br />
Beliau <i>rahimahullah </i>menjawab, “Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek <b>ajaran agama</b> yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolok-olok mereka dan mengolok-olok syariat (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syariat ini termasuk <b>kekafiran</b>.<br />
<br />
Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.” (Lihat <i>Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam</i>, Darul ‘Aqidah, hal. 120)<br />
<br />
<b>Perkataan Kedua </b><br />
<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz <i>rahimahullah</i>, pernah menjabat ketua <i>Lajnah Da’imah</i> (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? <i>Semoga Allah memberi kepahaman padamu</i>.”<br />
<br />
Syaikh <i>rahimahullah</i> menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,<br />
<br />
<div style="text-align: center;">قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ</div><br />
“<i>Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman</i>.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)<br />
<br />
Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.<br />
<br />
Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak <i>isbal</i>) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.<br />
<blockquote><br />
<span style="font-size: large;"><b>Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelakan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta.<i> Wallahu waliyyut taufiq. </i>(Lihat <i>Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid,</i> Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62)</b></span></blockquote><br />
<b>Perkataan ketiga </b><br />
Fatwa <i>Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’</i> (komisi fatwa di Saudi Arabia) no. 4127 tentang mengolok-olok hijab (jilbab) muslimah.<br />
<br />
<b>Pertanyaan</b> :<br />
Apa hukum orang yang mengolok-olok wanita yang memakai hijab (jilbab) syar’i dengan menjuluki bahwa wanita semacam itu adalah <i>ifrit</i> (setan) atau dijuluki ‘kemah yang bergerak’ atau ucapan olok-olok lainnya?<br />
<br />
Jawaban :<br />
<br />
Barang siapa mengejek muslimah atau seorang muslim yang berpegang teguh dengan syariat Islam maka dia <b>kafir</b>. Baik mengejek tersebut terhadap hijab (jilbab) muslimah yang menutupi dirinya sesuai tuntunan syariat atau boleh jadi dalam masalah lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat riwayat dari Abdullah bin ‘Umar <i>radhiyallahu ‘anhuma</i>. Beliau berkata, “Seorang laki-laki ketika perang Tabuk berkata di suatu majelis (kumpulan) : Aku tidak pernah melihat semisal ahli baca al-Qur’an (yang dimaksudkan adalah Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dan para shahabatnya, pen) yang paling perutnya buncit, sering berdusta dengan lisannya, dan paling takut (pengecut) ketika bertemu musuh.”<br />
Lalu ada seseorang yang berkata :’Engkau dusta. Engkau adalah munafik. Sungguh, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dan turunlah ayat mengenai mereka. Lalu Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>lalu kakinya tersandung batu sembari berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Lalu Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> mengatakan (dengan membawakan ayat yang turun tadi, pen), “<i>Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.</i>” (QS. At Taubah 9: 65-66)<br />
<br />
(Dalam ayat di atas) Allah menjadikan ejekan kepada orang mukmin adalah ejekan kepada Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya. <i>Semoga Allah memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya serta shahabatnya.</i><br />
<br />
<i>Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’</i><br />
<br />
Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan<br />
Wakil Ketua: Abdur Rozaq Afifi<br />
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz<br />
<br />
<b>Segera Bertaubat</b><br />
Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> termasuk kekafiran, maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah <i>Ta’ala</i> berikut bisa menjadi pelajaran.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ</div><br />
“<i>Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”</i> (QS. Az Zumar 39: 53)<br />
<br />
Jika seseorang bertaubat dari berbagai macam dosa termasuk berbagai hal yang dapat mengeluarkannya dari Islam dan dia melakukan hal ini dengan memenuhi syarat-syaratnya, maka taubatnya tersebut akan diterima.<br />
Adapun syarat taubat adalah:<br />
<ol><li>Taubat dilakukan dengan ikhlas dan bukan <i>riya’</i> atau <i>sum’ah</i> (ingin dipuji orang lain).</li>
<li>Menyesal dengan dosa yang telah dilakukan.</li>
<li>Tidak terus-menerus dalam dosa. Jika meninggalkan yang wajib, segeralah melaksanakannya dan jika melakukan sesuatu yang haram, segeralah meninggalkannya.</li>
<li>Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di waktu akan datang.</li>
<li>Taubat tersebut dilakukan pada saat waktu diterimanya taubat yaitu sebelum kematian datang dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. (Lihat pembahasan syarat Taubat di <i>Syarh Riyadhus Sholihin</i>, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin)</li>
</ol>Semoga kita menjadi hamba Allah yang bertaubat dan hamba Allah yang disucikan. <i>Amin Ya Mujibad Da’awat.</i><br />
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-56692812911258361392011-11-04T08:38:00.000+07:002011-11-04T08:38:27.118+07:00Subhanallah, baru tau kalo puasa tarwiyah itu....Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)? <br />
(Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)<br />
3 November 2011<br />
<br />
Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah<br />
Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat<br />
<a href="http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/11/03/puasa-hari-tarwiyah-8-dzulhijjah-oleh-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir-abdat/" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://moslemsunnah.wordpr</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>ess.com/2011/11/03/puasa-h</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>ari-tarwiyah-8-dzulhijjah-</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>oleh-al-ustadz-abdul-hakim</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>-bin-amir-abdat/</a><br />
<br />
<br />
Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.<br />
<a name='more'></a> <br />
Alhamdulillah, pada hari ini 3 Agustus 1987 [seperti tertulis di dalam buku, admin] saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut.<br />
مسألة صيام عاشوراء كفارة سنة ويوم عرفة كفارة سنتين<br />
<br />
“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.<br />
<br />
Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :<br />
<br />
[1]. Abu Syaikh dari :<br />
[2]. Ali bin Ali Al-Himyari dari :<br />
[3]. Kalbiy dari :<br />
[4]. Abi Shaalih dari :<br />
[5]. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)<br />
<br />
Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudhu’ (موضوع).<br />
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.<br />
<br />
Pertama: Kalbi (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).<br />
<br />
Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil:<br />
<br />
[1]. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar<br />
[2]. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban<br />
[3]. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni<br />
[4]. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim<br />
[5]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar<br />
<br />
Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).<br />
<br />
Kesimpulan:<br />
<br />
[1]. <b>Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah</b>. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah hadits <b>palsu/maudhu</b>’ yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.<br />
<br />
[2]. <b>Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunah</b> sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.<br />
<br />
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ<br />
<br />
“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]<br />
<br />
Kata ulama : Dosa-dosa yang dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil. Wallahu a’lam!<br />
<br />
Disalin dari kitab Al-Masaa’il Jilid 2 (Masalah 48) hal. 176-178 , oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 4, Th. 1427H/2007M)<br />
<br />
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com<span class="fcg"></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-13067248555171165832011-10-19T14:12:00.000+07:002011-10-19T14:12:41.799+07:00Ini salah itu salah, kayaknya semuanya salah dimata kalianlagi duduk-duduk di kantor, tiba-tiba terispirasi bikin tulisan ini..<br />
izin corat coret yaa blogku sayang :)<br />
<br />
jadi begini, hari ini dan mungkin di hari-hari yang lalu, entah mengapa yah, ketika diri yang hina ini mencoba untuk mengingatkan saudara/i mengenai suatu perkara, kok adaaaaaa aja yang tidak bisa menerimanya? padahal kan seseorang itu tidak boleh menolak kebenaran yang datang kepadanya (baca <a href="http://setegar-batu-karang.blogspot.com/2011/10/jangan-menolak-kebenaran.html#more">Jangan Menolak Kebenaran</a>)<br />
tapi kok masih ada aja ya?<br />
<a name='more'></a><br />
sebagian diantara mereka bahkan membikin 'ijma' sendiri, sesuka hati mereka untuk membenarkan kesalahan yang mereka buat.. wow capedeeee, <br />
atau ada yang berkomentar:<i> </i><br />
<br />
<i>"begini salah, begitu salah, perasaan ga ada yang bener dimata kalian, kita kan begini tujuannya baik, bla bla bla, dan seterusnya dan seterusnya"</i><br />
<br />
<br />
disini, karena ketidaksanggupan saya untuk menegur secara langsung orang yang seperti itu, maka saya minta izin untuk menyindir mereka-mereka secara halus, n_n (hehehehehe)<br />
<br />
wahai saudara/i ku, perkataan tersebut amat sangat tidak saya sukai, justru karena anda-anda salah lah, maka kami pun ingin memberitahukan yang benar kepada anda, supaya kelak anda tidak terus-terusan melakukan hal yang sudah jelas-jelas salah itu.. <br />
<br />
lagipula jika yang engkau kehendaki adalah kebaikan, mengapa engkau menggapai kebaikan itu dengan cara yang baik pula? bukankah segala sesuatu sudah diatur dalam Islam? berbagai anjuran dan larangan sudah Allah buatkan untuk kita, untuk pedoman kita..Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-31115512925012524342011-10-19T13:47:00.000+07:002011-10-19T13:47:21.797+07:00Hati-hati dengan jilbabmu..<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5_nUqMIRa8e1CJve2iiuElpCg6w99rDFiInoQL5klCc9LSMLVZxyoCZPCL9VselsT9bi6YIGtsytHig2zSHGTbB6fvjRp9hRtkmJwVcIqr5tAjsjBvMjloc5Mzwq8qi5qzlhqFoukp3g/s1600/tkqqkysx+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="496" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5_nUqMIRa8e1CJve2iiuElpCg6w99rDFiInoQL5klCc9LSMLVZxyoCZPCL9VselsT9bi6YIGtsytHig2zSHGTbB6fvjRp9hRtkmJwVcIqr5tAjsjBvMjloc5Mzwq8qi5qzlhqFoukp3g/s640/tkqqkysx+copy.jpg" width="640" /></a></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIqakiv80TcSBxhNUwmQ9la9XmQD_ND0CqtiPgWhVzMlY1jVItwYdPar30JJitouc_bYzHzWgGG3NIrhFSdwoLEJrOiaa_dczl8iqZiXWfqh7mLtMjZVmHH6J1UeO2TDY6_B4328Mqq_U/s1600/Untitled-1+copy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="371" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIqakiv80TcSBxhNUwmQ9la9XmQD_ND0CqtiPgWhVzMlY1jVItwYdPar30JJitouc_bYzHzWgGG3NIrhFSdwoLEJrOiaa_dczl8iqZiXWfqh7mLtMjZVmHH6J1UeO2TDY6_B4328Mqq_U/s640/Untitled-1+copy.jpg" width="640" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-72868005295400569932011-10-19T09:13:00.000+07:002011-10-19T09:13:41.117+07:00Jangan Menolak Kebenaran!<span lang="NL-BE" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: NL-BE;">Allah telah mengutus segenap rasulNya kepada umat manusia. Allah memerintahkan mereka agar menyeru manusia beribadah kepada Allah dan mengesakanNya. </span><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Tetapi sebagian besar umat-umat itu mendustakan dakwah para rasul. Mereka menentang dan menolak kebenaran yang kepadanya mereka diseru, yakni tauhid. Oleh karena itu kesudahan mereka adalah kehancuran dan kebinasaan. </span><br />
<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, </span><br />
<br />
<div style="margin: 5pt 36pt;"><i><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">"Tidak masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebe-rat atom rasa sombong."</span></i></div><a name='more'></a><i><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"></span></i><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;"></span>Kemudian beliau bersabda,<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;"></span><br />
<div style="margin: 5pt 36pt;"><i><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">"Sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia." </span></i><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">(HR. Muslim) </span></div><div style="margin: 5pt 36pt;"><br />
</div><span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Karenanya, setiap mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasihat, sehingga menyerupai orang-orang kafir, juga agar tidak terjerumus ke dalam sifat sombong yang bisa menghalanginya masuk Surga. Maka hikmah (kebijaksanaan) adalah harta orang mukmin yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka ia akan mengambil dan memungutnya. </span><br />
<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Maka dari itu, kita wajib menerima kebenaran dari siapa saja, bahkan sampai dari setan sekalipun. </span><br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Tersebut dalam riwayat, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjadikan Abu Hurairah sebagai penjaga Baitul Maal. </span><br />
<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Suatu hari, datang seseorang untuk mencuri, tetapi Abu Hurairah segera mengetahui, sehingga menangkap basah pencuri tersebut. Pencuri itu lalu mengharap, menghiba dan mengadu kepada Abu Hurairah, bahwa ia orang yang amat lemah dan miskin. Abu Hurairah tak tega, sehingga melepas pencuri tersebut. </span><br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Tetapi pencuri itu kembali lagi melakukan aksinya pada kali kedua dan ketiga. Abu Hurairah kemudian menangkapnya, seraya mengancam, "Sungguh, aku akan mengadukan halmu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ." </span><br />
<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Orang itu ketakutan dan berkata menghiba, "Biarkanlah aku, jangan adukan perkara ini kepada Rasulullah! Jika kau penuhi, sungguh aku akan mengajarimu suatu ayat dari Al-Qur'an, yang jika engkau membacanya, niscaya setan tak akan mendekatimu." Abu Hurairah bertanya, "Ayat apakah itu?" </span><br />
<br />
<span lang="PT-BR" style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt; mso-ansi-language: PT-BR;">Ia menjawab, "Ia adalah ayat Kursi." Lalu Abu Hurairah melepas kembali pencuri tersebut. Selanjutnya Abu Hurairah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia saksikan. Lalu Rasulullah bertanya padanya, "Tahukah kamu, siapakah orang yang berbicara tersebut? Sesungguhnya ia adalah setan. Ia berkata benar padahal dia adalah pendusta." (HR. Al-Bukhari). </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-18565626636179724362011-10-19T08:23:00.001+07:002011-10-19T08:27:00.803+07:00Bagaimana Mengingkari Kemungkaran Dengan Hati Dan Hukum Meninggalkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkarada sebuah hadist (saya lupa karena tidak hafal) yang menyatakan jikalau seseorang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tak mampu dengan lisannya, dan jika tak mampu, cukup ingkari dalam hati.. bagaimanakah caranya mengingkari suatu kemungkaran dengan hati?<br />
<a name='more'></a><br />
Rabu, 9 Februari 2005 18:05:12 WIB<br />
<br />
<div align="justify">BAGAIMANA MENGINGKARI KEMUNGKARAN DENGAN HATI<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz<br />
<br />
Pertanyaan:<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana mengingkari kemungkaran dengan hati? <br />
<br />
Jawaban.<br />
Yaitu membenci kemungkaran dan tidak bergaul dengan para pelakunya, karena bergaul dengan mereka tanpa mengingkari sama dengan perbuatan Bani Israil yang dilaknat Allah, sebagaimana dalam firmanNya.<br />
<br />
"Artinya : Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." [Al-Ma'idah: 78-79]<br />
<br />
<br />
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, juz 5 hal. 74-75, Syaikh Ibn Baz]<br />
<br />
<br />
HUKUM MENGINGGALKAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz<br />
<br />
Pertanyaan.<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bagaimana hukumnya orang yang meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, padahal ia mampu melakukannya?<br />
<br />
Jawaban.<br />
Hukumnya, berarti ia durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya, imannya lemah dan ia terancam bahaya besar yang berupa penyakit-penyakit hati dan efek-efeknya, cepat maupun lambat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." [Al-Ma'idah: 78-79]<br />
<br />
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam<br />
<br />
"Artinya : Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."[1]<br />
<br />
Dalam sabda lainnya beliau menyebutkan.<br />
<br />
"Artinya : Sesunggunnya manusia itu bila melihat kemungkaran tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka."[2]<br />
<br />
Masih banyak lagi hadits-hadits yang semakna dengan ini. Semoga Allah menunjuki kaum muslimin untuk senantiasa melaksanakan kewajiban yang agung ini dengan cara yang diridhai-Nya.<br />
<br />
[Majalatul Buhuts edisi 37, hal. 169, Syaikh Ibn Baz]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]<br />
________<br />
Foote Note<br />
[1]. HR. Muslim dalam Al-Iman (49).<br />
[2]. HR. Abu Dawud dalam Al-Malahim (4338), At-Tirmidzi dalam At-Tafsir (3057), Ibnu Majah dalam Al-Fitan (4005) seperti itu.</div><br />
<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1341&bagian=0">http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1341&bagian=0</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-60180925100261633782011-10-19T08:18:00.000+07:002011-10-19T08:18:30.695+07:00Hukum Tidak Mengingkari Kemungkaran Karena Ia Sendiri Melakukannya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbdJEKEYH6oRrpQfV1yszhJj1qnC1s_70s7eJkOY4U_YDuzmrB5hZvwqrHbiUMBPXHlJKkabNZls2mdmTAVRvHW9vzfPx4hj1_oeKso2Pkom3QVBt5wiIo2iDQBoQE03m71pQs30AswvU/s1600/68qw4vy4.png" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbdJEKEYH6oRrpQfV1yszhJj1qnC1s_70s7eJkOY4U_YDuzmrB5hZvwqrHbiUMBPXHlJKkabNZls2mdmTAVRvHW9vzfPx4hj1_oeKso2Pkom3QVBt5wiIo2iDQBoQE03m71pQs30AswvU/s200/68qw4vy4.png" width="200" /></a></div><div align="justify">Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan.. yap, itu benar.. dan semua orang itu berhak untuk menyampaikan kebenaran, siapapun orangnya.. tapi terkadang manusia enggan untuk menerima kebenaran yang disampaikan oleh seseorang yang 'ketahuan' bermaksiat.. mereka pun menolak kebenaran tersebut dengan dalih "yaelah, sok-sok an nasehatin orang lain, padahal diri sendirinya juga kayak gitu" atau "ngaca sama diri sendiri dulu, baru ngasih kaca ke orang lain". atau ada sebagian orang yang memang melakukan suatu kemaksiatan, dirinya sadar bahwa yang ia lakukan adalah maksiat, namun ketika ia melihat orang lain melakukan apa yang dilakukannya, ia enggan untuk menegur, karena apa? karena ia merasa tak berhak untuk menasehati karena ia pun melakukan kemaksiatan yang sama pula.. bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini? bukankah setiap manusia dibebankan untuk ber-amar ma'ruf nahi mungkar?</div><a name='more'></a><br />
Senin, 24 Januari 2005 06:07:59 WIB<br />
<br />
<br />
<div align="justify">HUKUM TIDAK MENGINGKARI KEMUNGKARAN KARENA IA SENDIRI MELAKUKANNYA</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify">Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin<br />
<br />
Pertanyaan:</div><div align="justify"><br />
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dikatakan, "Kenapa anda tidak mengingkari kemungkaran?" Ada yang mengatakan, "Bagaimana saya mengingkarinya sementara saya melakukannya." Lalu ia berdalih dengan firman Allah Ta'ala. "Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri." [Al-Baqarah : 44]<br />
<br />
Dan hadits yang menyebutkan tentang seorang laki-laki yang isi perutnya keluar di neraka. Bagaimana membantah orang yang seperti itu?<br />
<br />
Jawaban:</div><div align="justify"><br />
Kami katakan: Sesungguhnya manusia telah diperintahkan untuk meninggalkan kemungkaran dan diperintahkan untuk mengingkari pelaku kemungkaran. Jika ternyata ia tidak meninggalkan kemungkaran, ia tetap mempunyai <b>kewajiban lainnya</b>, yaitu <b>mengingkari pelaku kemungkaran</b>. <br />
<br />
Adapun yang disebutkan di dalam ayat tadi, itu merupakan celaan yang ditujukan kepada yang menyuruh orang lain berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya (padahal ia mampu melakukannya), bukan karena ia menyuruh mereka. Karena itulah disebutkan, "Maka tidakkah kamu berpikir." [Al-Baqarah: 44]. Apakah masuk akal bila seseorang menyuruh orang lain berbuat baik sementara ia sendiri tidak melakukannya? Tentu ini tidak masuk akal dan bertentangan dengan syari'at. Jadi larangan itu bukan untuk mencegah mengajak orang berbuat baik, tapi larangan memadukan keduanya, yaitu menyuruh orang lain sementara ia sendiri tidak melakukan. Demikian juga yang tersebut dalam hadits tadi, yaitu ancaman keras dicampakkan ke dalam neraka sehingga ususnya terurai, lalu para penghuni neraka mengerumuninya, lalu dikatakan kepada mereka, bahwa orang tersebut menyerukan kebaikan tapi ia sendiri tidak melakukannya dan mencegah kemungkaran tapi ia sendiri malah melakukannya. Ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut terkena siksaan ini, tapi jika ia tidak mengingkari, bisa jadi siksaannya lebih berat.<br />
<br />
[Alfazh wa Mafahim fi Mizan Asy-Syari'ah, hal 32-33, Syaikh Ibn Utsaimin]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]</div><br />
<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1313&bagian=0">http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1313&bagian=0</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-64563447248451479222011-10-19T08:07:00.001+07:002011-10-19T08:17:55.448+07:00Cara Yang Baik Untuk Mengingkari KemungkaranSenin, 27 Desember 2004 07:22:11 WIB<br />
<br />
<br />
<div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5Gdcef3Ik14FOKvZSlxo6UbA3kxR_SRklC1G9r3QIrappnm4dmjVIQXPsG47YLtdA2YHMr8IJ4HlGsimi7FCEtkSa1_rB6WovdcwnJE9Uxs3o-izIsQKjli4LKhojtuYcOO-w0e9bs00/s1600/68qw4vy4.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5Gdcef3Ik14FOKvZSlxo6UbA3kxR_SRklC1G9r3QIrappnm4dmjVIQXPsG47YLtdA2YHMr8IJ4HlGsimi7FCEtkSa1_rB6WovdcwnJE9Uxs3o-izIsQKjli4LKhojtuYcOO-w0e9bs00/s200/68qw4vy4.png" width="198" /></a>CARA YANG BAIK UNTUK MENGINGKARI KEMUNGKARAN<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz<br />
<br />
Pertanyaan:<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Kami perhatikan banyak sekali para pemuda yang antusias mengingkari kemungkaran, tapi mereka kurang baik dalam mengingkarinya. Apa saran dan petunjuk Syaikh untuk mereka, dan bagaimana cara terbaik untuk mengingkari kemungkaran?</div><div align="justify"></div><div align="justify"><br />
</div><a name='more'></a><br />
<div align="justify">Jawaban:</div><div align="justify"><br />
Saran saya untuk mereka agar mengkaji masalahnya dan pertama-tama <b>mempelajarinya sampai yakin benar bahwa masalah tersebut baik atau mungkar berdasarkan dalil syar'i,</b> sehingga dengan demikian pengingkaran mereka itu <b>berdasarkan hujjah yang nyata</b>, hal ini berdasarkan firman Allah.<br />
<br />
"Katakanlah: 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." [Yusuf: 108].<br />
<br />
Di samping itu, saya juga menyarankan kepada mereka, hendaknya pengingkaran itu dengan cara yang halus, tutur kata dan sikap yang baik agar mereka bisa menerima sehingga lebih banyak berbuat perbaikan daripada kerusakan, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." [An-Nahl: 125]<br />
<br />
<br />
Dan firmanNya.<br />
</div><div align="justify">Artinya : Disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. " [Ali Imran: 159]<br />
<br />
Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Barangsiapa tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya."[1]<br />
<br />
Dan sabdanya.<br />
<br />
"Artinya : Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mem-perindahnya, dan tidaklah (kelembutan) itu tercabut dari sesuatu kecuali akan memburukkannya."[2]<br />
<br />
Serta berdasarkan hadits-hadits shahih lainnya.<br />
<br />
Di antara yang harus dilakukan oleh seorang da'i yang menyeru manusia ke jalan Allah serta menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, adalah menjadi orang yang lebih dahulu melakukan apa yang diserukannya dan menjadi orang yang paling dulu menjauhi apa yang dilarangnya, sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dicela Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.<br />
<br />
"Artinya : Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir." [Al-Baqarah: 44]<br />
<br />
Dan firmanNya.<br />
<br />
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." [Ash-Shaf: 2-3].<br />
<br />
Di samping itu, agar ia tidak ragu dalam hal itu danagar manusia pun melaksanakan apa yang dikatakan dan dilakukannya.<br />
Wallahu waliyut taufiq.<br />
<br />
[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5 hal. 75-76, Syaikh Ibn Baz]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]<br />
__________________________________________________________________________________<br />
Foote Note<br />
[1]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2592).<br />
[2]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Birr wash Shilah (2594).</div><br />
<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1259&bagian=0">http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1259&bagian=0</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-27662186812574616802011-10-14T13:06:00.003+07:002011-10-14T13:10:53.454+07:00Siapa Yang Mencaci Masa (Waktu) Maka Dia Telah Menyakiti Allah<h4></h4><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwnny3Ar2-ynd1oFFkvAR4OrKnJuafagmIp-jDlEItU6xUTFCF3-ss9L4Fp-Z2wHYmgwdeV91R1d6TY-Y94bcs9-BzsgK9pB98eLZV0DixHXy2ezu2LcqAnlOxHINK-Obng1tjzgvyInE/s1600/dali-clock.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwnny3Ar2-ynd1oFFkvAR4OrKnJuafagmIp-jDlEItU6xUTFCF3-ss9L4Fp-Z2wHYmgwdeV91R1d6TY-Y94bcs9-BzsgK9pB98eLZV0DixHXy2ezu2LcqAnlOxHINK-Obng1tjzgvyInE/s200/dali-clock.jpg" width="200" /></a><i>Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab</i> <br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><hr align="center" color="gray" noshade="noshade" size="2" width="100%" /></div><div class="MsoNormal">Firman Allah <i>Ta'ala</i> (artinya): </div>"Dan mereka berkata: 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup; dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa', dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (Al-Jatsiah: 24)<br />
<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Diriwayatkan dalam <i>Shahih</i> Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i> bersabda:<br />
<br />
"Allah <i>Ta'ala</i> berfirman: "Manusia menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti"."<br />
<br />
Disebutkan dalam riwayat lain:<br />
"Janganlah kamu mencaci masa karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa."<br />
<br />
Orang-orang jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut, karena yang menciptakan dan mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa. Sedangkan menghina pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan itu. Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan Pengatur masa.<br />
<br />
<b>Kandungan tulisan ini:</b> <br />
<ol type="1"><li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo1; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;">Dilarang mencaci masa. </li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo1; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;">Mencaci masa disebut menyakiti Allah. </li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo1; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;">Perlu direnungkan sabda Nabi <i>Shallallahu 'alaihi wa sallam</i>: "Karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa." Sabda beliau itu menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan takdir Allah, karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman dengan <i>qadha'</i> dan <i>qadar</i>, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit. </li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo1; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; tab-stops: list 36.0pt;">Mencaci, mungkin saja, dilakukan seseorang tanpa bermaksud demikian dalam hatinya. </li>
<li class="MsoNormal"> </li>
</ol><div class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt;">Dikutip dari buku: "<b>Kitab Tauhid</b>" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.<br />
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H. </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><hr align="center" color="gray" noshade="noshade" size="2" width="100%" /></div><div class="MsoNormal">Created at <i>27 March 2003</i> | </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-10521269167738734492011-10-14T08:45:00.002+07:002011-10-19T08:21:36.004+07:00Bolehkah Berbicara Saat Mandi dan Wudhu?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Abu Al-Jauzaa' :, 01 Mei 2009</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH3Tnx6ZO0TQ7U2x8tZrArUl9l4gVOqPBrRLSrE0fFAVBBqwXzffw8tAT5jhNc21QI3xbG7gfEq18I3yomsW7JEfZMM1f5UAX6vnY25oKZ4AQe3DhdFmyRjprWgMB-jv2NuY6lSHxVwWA/s1600/68qw4vy4.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjH3Tnx6ZO0TQ7U2x8tZrArUl9l4gVOqPBrRLSrE0fFAVBBqwXzffw8tAT5jhNc21QI3xbG7gfEq18I3yomsW7JEfZMM1f5UAX6vnY25oKZ4AQe3DhdFmyRjprWgMB-jv2NuY6lSHxVwWA/s1600/68qw4vy4.png" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Diperbolehkan berbicara dan bercakap-cakap saat mandi dan wudlu. Ada beberapa hadits yang mendasari hal tersebut, antara lain :</span></div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">1. Hadits Ummu Hani’ binti Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhaa :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span dir="rtl" lang="AR-SA" style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">عن أم هانىء بنت أبي طالب تقول: ذهبت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الفتح، فوجدته يغتسل، وفاطمة ابنته تستره، قالت: فسلمت عليه، فقال: (من هذه). فقلت: أنا أم هانىء بنت أبي طالب، فقال: (مرحبا بأم هانىء</span><span dir="ltr"></span><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;"><span dir="ltr"></span>).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Dari Ummi Haani’ binti Abi Thaalib ia berkata : “Aku pergi menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada satu hari waktu Fathu Makkah. Aku mendapati beliau sedang mandi sedangkan Fathimah – putri beliau – sedang menutupinya. Kemudian aku ucapkan salam kepada beliau. (Setelah menjawab salam), beliau bertanya : “Siapakah ini ?”. Aku menjawab : “Aku Ummu Haani’ binti Abu Thaalib. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Selamat datang wahai Ummu Hani’” [HR. Al-Bukhari no. 357 dan Muslim no. 336].</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">2. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span dir="rtl" lang="AR-SA" style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">عن عائشة؛ قالت : كنت أغتسل أنا ورسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء، بيني وبينه، واحد. فيبادرني حتى أقول: دع لي، دع لي. قالت: وهما جنبان</span><span dir="ltr"></span><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;"><span dir="ltr"></span>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Dari ‘Aisyah ia berkata : “Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu bejana. Beliau mendahuluiku dalam mengambil air hingga aku berkata : “Sisakan untukku, sisakan untukku”. Perawi (Mu’adzah) berkata : “Mereka berdua berada dalam keadaan junub” [HR. Al-Bukhari no. 261 dan Muslim no. 321].</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">3. Hadits ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma :</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span dir="rtl" lang="AR-SA" style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">عن عمرو بن العاص يقول بعث الي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال خذ عليك ثيابك وسلاحك ثم ائتني فأتيته وهو يتوضأ فصعد في النظر ثم طأطأ فقال اني أريد ان ابعثك على جيش فيسلمك الله ويغنمك وارغب لك من المال رغبة صالحة قال قلت يا رسول الله ما أسلمت من أجل المال ولكني أسلمت رغبة في الإسلام وأن أكون مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا عمرو نعم المال الصالح للمرء الصالح</span><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Dari ‘Amru bin Al-‘Ash, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku, dan kemudian menyampaikan pesan beliau : ‘Ambil baju dan senjatamu, kemudian datanglah kepadaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)’. Aku pun mendatangi beliau yang saat itu sedang berwudlu. Beliau mengangkat pandangannya kemudian menunduk dan bersabda : “Sesungguhnya aku ingin mengutusmu untuk satu peperangan. Semoga Allah memberikan keselamatan dan harta ghanimah kepadamu. Dan aku berharap kepadamu dari harta yang baik”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku masuk agama Islam semata-mata mengharapkan harta, namun aku masuk Islam karena aku memang menginginkan Islam”. Dan aku pun (setelah itu) bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda : “Wahai ‘Amr, sebaik-baik harta yang shalih adalah untuk seseorang yang shaalih” [HR. Ahmad no. 17798 dan Al-Bukhari dalam Al-Adaabul-Mufrad no. 299; sanadnya shahih sesuai syarat Muslim].</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">Tiga hadits di atas menunjukkan tentang kebolehannya, sekaligus menepis anggapan sebagian orang yang memakruhkannya. Wallaahu a’lam.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">[Abul-Jauzaa’]</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt; mso-layout-grid-align: none; mso-pagination: none;"><span style="font-family: 'Arial','sans-serif'; font-size: 10pt;">di 15:03</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-49198026108978015422011-10-13T10:38:00.002+07:002011-10-13T10:38:26.173+07:00Etika Muslim yang berada di Jalan<div style="background-color: white;">Berikut ini akan dipaparkan etika-etika seorang muslim ketika di jalanan:</div><div style="background-color: white;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #20124d;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">1. Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #20124d;"><br />
</div><div style="background-color: white;"><span style="background-color: white; color: #20124d;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #20124d;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><i>"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri"</i>. (Luqman: 18)</span></div><a name='more'></a><div style="background-color: white;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #4c1130;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">2. Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #4c1130;"><br />
</div><div style="background-color: white;"><span style="color: #4c1130;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #4c1130;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">"Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: <i>"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...."</i> (An-Nur: 30-31).</span></div><div style="background-color: white;"><span style="color: #4c1130;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #4c1130;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #990000;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">3. Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung.</span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: red;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">4. Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: red;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: red;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: <i>"Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga"</i>. (Muttafaq'alaih). </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">5. Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena :</span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: blue;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:<i>"Ada lima perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam"</i>. (Muttafaq alaih).</span></div><div style="background-color: white;"><span style="color: blue;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: #274e13;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">6. Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim, masing-masing sesuai kemampuannya.</span></div><div style="background-color: white;"><span style="color: lime;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: lime;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: magenta;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">7. Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: magenta;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: magenta;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> "<i>Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah....</i>" (Muttafaq alaih).</span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">8. Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: <i> "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan.</i> (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).</span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: purple;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">9. Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalan-jalan yang ramai dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolong-menolong di dalam kebajikan. </span></div><div style="background-color: white;"><span style="color: purple;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="background-color: white; color: purple;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="background-color: white;"><span style="color: magenta; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">[Taken From Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan]</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-19164618853865313072011-10-13T10:22:00.000+07:002011-10-13T10:22:10.966+07:00Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut Ilmu ?<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; mso-outline-level: 3;"><a href="" name="9195618358642896511"></a><b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 13.5pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Abu Al-Jauzaa' :, 30 Mei 2008 </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Tanya :</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ? </span></div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Jawab : </span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat. Allah ta’ala telah berfirman : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا</span></b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”</span></i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> [QS. Al-Fath : 28]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ</span></b><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"</span></i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> [QS. Al-Baqarah : 201]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan <span style="background-color: #ffe599;">kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah</span>”. Beliau menambahkan : ”Dan k<span style="background-color: #b4a7d6;">ebaikan akhirat – maksudnya adalah surga</span>” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang <b>sangat mulia</b>, maka ia <b style="background-color: red;">tidaklah boleh</b> dituntut kecuali dari orang-orang yang <b style="background-color: #b6d7a8;">ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus.</b> Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"</span></i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> [QS. Al-Kahfi : 65-66] </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. </span><a href="" name="_ftnref1"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftn1" title=""><span style="mso-bookmark: _ftnref1;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[1]</span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;"> </span></span><span style="mso-bookmark: _ftnref1;"></span><span style="mso-bookmark: _ftnref1;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه</span></b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu”</span></i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> [lihat <i>Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’</i> oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa <b>”seleksi”</b>. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا</span></b><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah <b>darah dan dagingmu</b>. Maka perhatikanlah dari <b>siapa</b> kamu <b>mengambilnya</b>. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)”</span></i><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> [<i>Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah</i> oleh Al-Khathib hal. 81, <i>Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim</i>, Maktabah Sahab]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata : </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [<i>idem</i>]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang <b>jahil</b> dan<b> fasiq</b>. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;">Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang: </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث</span></b><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [<i>Al-Kifaayah</i> 1/77-78]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;"> Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;"> Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata : </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: right;"><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para <i>akaaabir</i> (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari <i>ashaaghir</i> (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [<i>Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi </i>oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan. </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;">Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan<b> tidak</b> melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. </span><a href="" name="_ftnref2"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftn2" title=""><span style="mso-bookmark: _ftnref2;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[2]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftnref2;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftnref2;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Sebagian lagi dari mereka ada yang <b>mencukur habis jenggotnya</b> hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan <i>khilaf furu’iyyah</i> semata (?!) </span><a href="" name="_ftnref3"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftn3" title=""><span style="mso-bookmark: _ftnref3;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[3]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftnref3;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftnref3;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;">Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.</span><a href="" name="_ftnref4"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftn4" title=""><span style="mso-bookmark: _ftnref4;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[4]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftnref4;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftnref4;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan................. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Kita <b> tidak mengatakan</b> bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu <b>harus</b> <b>ma’shum</b> terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;"> Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga <b>menilai</b> seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat <i>dhuhur</i> (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.</span><a href="" name="_ftnref5"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftn5" title=""><span style="mso-bookmark: _ftnref5;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[5]</span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt;"> </span></span><span style="mso-bookmark: _ftnref5;"></span><span style="mso-bookmark: _ftnref5;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap <i>ta'ashub </i>(fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil <i>al-walaa' wal-baraa'</i> tidak berdasar atas nama Islam.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Kesimpulan :</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (<i>like and dislike</i>) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam. </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Abul-Jauzaa' 1429</span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">===================================================</span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><u><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">Catatan kaki :</span></u><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><a href="" name="_ftn1"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftnref1" title=""><span style="mso-bookmark: _ftn1;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[1]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftn1;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftn1;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><a href="" name="_ftn2"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftnref2" title=""><span style="mso-bookmark: _ftn2;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[2]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftn2;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftn2;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : <i>”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka”</i> [HR. Bukhari dan Muslim]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><a href="" name="_ftn3"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftnref3" title=""><span style="mso-bookmark: _ftn3;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[3]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftn3;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftn3;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya <i>Maraatibul-Ijma’</i> (hal. 157) dimana beliau berkata : { </span><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : <i>”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian”</i> [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : </span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif';">http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html</span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><a href="" name="_ftn4"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftnref4" title=""><span style="mso-bookmark: _ftn4;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[4]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftn4;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftn4;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Allah ta’ala berfirman : {</span><b><span style="font-family: 'Tahoma','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ</span></b><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">} <i>"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"</i>. [QS. Al-Ahzaab : 59]. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto;"><a href="" name="_ftn5"></a><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8372105893582766617#_ftnref5" title=""><span style="mso-bookmark: _ftn5;"><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';">[5]</span></span><span style="mso-bookmark: _ftn5;"></span></a><span style="mso-bookmark: _ftn5;"></span><span style="font-family: 'Verdana','sans-serif'; font-size: 12pt; mso-bidi-font-family: 'Times New Roman'; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"> Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya <i>tajassus</i> (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.</span><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"><br />
</span><a href="http://www.blogger.com/email-post.g?blogID=8372105893582766617&postID=9195618358642896511" title=""Posting Email" "><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman'; mso-no-proof: yes; text-decoration: none; text-underline: none;"></span></a><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=8372105893582766617&postID=9195618358642896511" title=""Edit Entri" "><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman'; mso-no-proof: yes; text-decoration: none; text-underline: none;"></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"><br />
</span><a href="http://www.blogger.com/email-post.g?blogID=8372105893582766617&postID=9195618358642896511" title=""Posting Email" "><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; text-decoration: none;"></span></a><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=8372105893582766617&postID=9195618358642896511" title=""Edit Entri" "><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; text-decoration: none;"></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt;"></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 0pt;"><span style="font-family: 'Times New Roman','serif'; font-size: 12pt; mso-fareast-font-family: 'Times New Roman';"><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/search/label/Manhaj"><br />
</a> </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-31601393692951542482011-10-13T08:19:00.000+07:002011-10-13T08:19:03.345+07:00Etika MajelisMakan ada etikanya, tidur ada etika nya, berbicara ada etika nya, di majelis pun juga ada etikanya.. Apa saja etika dalam majelis? cekidot...<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFt0004SXj-KupLdEJ4gcZfUTWxvJXymEGxFaWB2UsIMWnjOOJ9JaoHR3wqnQRgSUSZ6_HQXiTzr5SrQPALgv1U7e5MlnZ3hlCBv6evOHdFic3Kmdg8nsfl6vjFmz5BSkoYNhaujePMHY/s1600/ethics-sign.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFt0004SXj-KupLdEJ4gcZfUTWxvJXymEGxFaWB2UsIMWnjOOJ9JaoHR3wqnQRgSUSZ6_HQXiTzr5SrQPALgv1U7e5MlnZ3hlCBv6evOHdFic3Kmdg8nsfl6vjFmz5BSkoYNhaujePMHY/s320/ethics-sign.jpg" width="320" /></a></div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal"><span style="color: #38761d;"><b>1</b>.</span><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><span style="color: #38761d;"> </span><b><span style="color: #38761d;">Hend</span>aknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut. </b></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: <i>"Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya.</i> (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">2. <b>Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa.</b></span></div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> Jabir bin Samurah telah menuturkan: <i>Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis.</i> (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="color: #351c75;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> 3. <b>Jangan sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. </b></span></div><div class="MsoNormal" style="color: #351c75;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #351c75;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: <i>"Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah."</i> (Muttafaq'alaih).</span></div><div class="MsoNormal" style="color: #351c75;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: magenta;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">4.</span><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> <b>Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).</b></span></div><div class="MsoNormal" style="color: magenta;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #b45f06;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">5. Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka. </span></b></div><div class="MsoNormal" style="color: #b45f06;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #b45f06;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: <i>"Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya".</i> (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: purple;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">6. Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. </span></b></div><div class="MsoNormal" style="color: purple;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: purple;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: <i>"Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya".</i> (HR.Muslim)</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal"><b><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">7. </span><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga.</span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> Ibnu Mas`ud Radhiallaahu 'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: <i>"Apabila kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih".</i> (Muttafaq'alaih).</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="color: #4c1130;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">8. Para anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa. </span></b></div><div class="MsoNormal" style="color: #4c1130;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #4c1130;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:<i>"Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati".</i> (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="color: #674ea7;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">9.</span> Hendaknya setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). </b></div><div class="MsoNormal" style="color: #674ea7;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #674ea7;"> Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat". (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).</div><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"></span><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">1<b>0. </b></span><b><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Anggota majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.</span></b></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="color: #990000;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">11. Tidak melakukan perbuatan memata-matai. </span></b></div><div class="MsoNormal" style="color: #990000;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: #990000;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: <i> "Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang". </i> (Muttafaq'alaih).</span></div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><b><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">12. </span><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">Disunnatkan menutup majlis dengan do`a Kaffarat majlis.</span></b></div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:<i> "Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca :</i></span></div><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><br />
</div><span style="color: blue;"> </span><div class="MsoNormal" style="color: blue;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><i>"Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu", melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya"</i>. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani). </span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="color: magenta; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;">[Taken From Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan]</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="color: green; font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="color: magenta;"><span style="font-family: Tahoma; font-size: 10pt;"><b> </b></span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-46578678330309676842011-10-12T13:41:00.000+07:002011-10-12T13:41:06.833+07:00Untuk Siapa Amal Shalih Yang Dikerjakan Anak-Anak ? Dan Apakah Anak Kecil Bisa Memberi Syafaat ?<div align="justify">Oleh<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz<br />
<br />
Pertanyaan.</div><div align="justify"><br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah amal shalih anak yang belum baligh seperti shalat, haji dan bacaan Al-Quran, seluruh pahalanya milik kedua orang tuanya atau untuk pribadinya ?</div><a name='more'></a>Jawaban.<br />
<div align="justify"><br />
Amal shalih anak yang belum baligh, pahalanya akan menjadi miliknya pribadi bukan milik kedua orang tuanya atau orang lain. Tapi orang tuanya mendapat pahala atas usaha mereka dalam mengajari, membimbing dan mendorong anak untuk beramal shalih. Hal ini merujuk kepada hadits dalam Shahih Muslim dari Ibu Abbas, bahwa ada seorang wanita mengangkat putranya kepada Nabi pada haji Wada seraya berkata : Wahai Rasulullah, apakah anak ini akan mendapatkan pahala hajinya ? Rasulullah menjawab : Betul, dan engkau juga memperoleh pahala.<br />
<br />
Nabi mengatakan bahwa haji tersebut milik sang anak, dan ibunya juga meraih pahala karena menyertainya. Demikianlah, selain orang tua juga bisa meraup pahala dari amal baiknya yang dilakukan seperti mencerdaskan (talim) anak yatim, kerabat, para pembantu dan lain-lain. Ini bertumpu pada sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.<br />
</div><div align="justify">Artinya : Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakannya [Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya]<br />
<br />
Sikaf ini juga merupakan manifestasi dari tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Allah akan memberikan pahala atas amalan tersebut.<br />
<br />
[Fatawa Islamiyah : 4/526]<br />
<br />
<br />
<b>APAKAH ANAK KECIL BISA MEMBERI SYAFAAT BAGI ORANG TUA DAN KAKEK-NENEKNYA</b>?<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta<br />
<br />
Pertanyaan.</div><div align="justify"><br />
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah anak kecil yang meninggal pada umur 1 tahun bisa memberi syafaat bagi kedua orang tua dan kakek-neneknya ?<br />
<br />
Jawaban.</div><div align="justify"><br />
Segala puji bagi Allah, salam sejahtera semoga tetap dilimpahkan Allah kepada RasulNya, juga keluarga dan para sahabatnya.<br />
<br />
Allah akan memperkenankan syafaatnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafaatnya terhadap kakek-neneknya, hanya Allah saja Mahatau.<br />
<br />
Semoga Allah melimpahkan taufikNya, shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.<br />
<br />
[Fatawa Lajnah Daimah 3/343]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Said Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]</div><br />
<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1356&bagian=0">http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1356&bagian=0</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-74729242901103502232011-10-12T13:33:00.002+07:002011-10-12T13:33:51.162+07:00Dalam Pertemuan Diperdengarkan Bacaan Al-Qur'an Dan Yang Hadir Tidak Menyimak, Siapakah Yang Berdosa?<div align="justify">Oleh<br />
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani<br />
<br />
Pertanyaan.<br />
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi orang-orang yang hadir dalam perkumpulan tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak (mendengarkan) bacaan Al-Qur'an yang keluar dari kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memasang kaset itu ?</div><a name='more'></a>Jawaban.<br />
Apabila majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Qur'an maka siapaun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut.<br />
<br />
Dalilnya adalah surat Al-A'raf : 204.<br />
<br />
"Artinya : Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat"<br />
<br />
Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar atau pekerjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berati memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan Al-Qur'an, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan tidak siap untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Jadi dalam keadaan seperti ini yang salah dan berdosa adalah orang yang memeperdengarkan kaset murattal tersebut.<br />
<br />
Di dalam masalah ini ada sebuah contoh : Misalnya kita sedang melewati sebuah jalan, yang jalan tersebut terdengar suara murattal yang keras yang berasal dari sebuah toko kaset. Begitu kerasnya murattal ini sehingga suaranya memenuhi jalanan.<br />
<br />
Apakah dalam keadaan seperti ini kita wajib diam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang tidak pada tempatnya itu ? Jawabannya tentu saja "tidak". Dan kita tidak bersalah ketika kita tidak mampu untuk menyimaknya.<br />
<br />
Yang bersalah dalam hal ini adalah yang memaksa orang lain untuk mendengarkannya dengan cara memutar keras-keras murattal tersebut dengan tujuan untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat agar mereka tertarik untuk membeli dagangannya.<br />
<br />
Dengan demikian mereka telah mejadikan Al-Qur'an ini seperti seruling (nyanyian) sebagaimana telah di-nubuwah-kan (diramalkan) dalam sebuah hadits shahih [Ash-Shahihah No. 979]. Kemudian mereka itu juga menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, hanya caranya saja yang berbeda.<br />
<br />
"Artinya : Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit" [At-Taubah : 9]<br />
<br />
<br />
<br />
[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=346&bagian=0">http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=346&bagian=0</a>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-28326589811581122292011-10-05T15:03:00.001+07:002011-10-05T15:06:41.144+07:00Menggantungkan Ayat Kursi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkqtOWR8UkZwpFCrkZBQ23i3WfW2vZ8BdbOtMBx_WiEhlDxuy-bs4w4jimz_RttarOA2WegKlUt5w6LzdUkiTHvuiwa7INwqNhyjLd1WCg0Pa9a023czdR0BAYE1YPDF5iGQWoL9rP_Q8/s1600/jual-kaligrafi-ayat-kursi-0.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="252" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkqtOWR8UkZwpFCrkZBQ23i3WfW2vZ8BdbOtMBx_WiEhlDxuy-bs4w4jimz_RttarOA2WegKlUt5w6LzdUkiTHvuiwa7INwqNhyjLd1WCg0Pa9a023czdR0BAYE1YPDF5iGQWoL9rP_Q8/s400/jual-kaligrafi-ayat-kursi-0.jpg" width="400" /></a></div><br />
Di rumah kaum muslimin seringkali dipajang kaligrafi ayat kursi. Di antara tujuan mereka memasangnya ialah agar rumah tersebut tidak diganggu setan atau setan bisa menjauh dari rumah. Ada juga yang bertujuan untuk ‘ngalap berkah’ (tabarruk) dengan ayat Al Qur’an tersebut. Bagaimana ajaran Islam meninjau perbuatan ini?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Syaikhuna –guru kami- Syaikh Sholeh Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan <i>hafizhohullah</i> ditanya,<br />
Apakah boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi, ayat lainnya atau berbagai macam do’a di lehernya atau di rumah, mobil dan ruang kerjanya dalam rangka ‘ngalap berkah’ dan meyakini bahwa dengan menggantungnya setan pun akan lari?<br />
Jawaban beliau <i>hafizhohullah</i>,<br />
<br />
Tidak boleh seorang muslim menggantungkan ayat kursi dan ayat Qur’an lainnya atau berbagai do’a yang syar’i di lehernya dengan tujuan untuk mengusir setan atau untuk menyembuhkan diri dari penyakit. Inilah pendapat yang tepat dari pendapat para ulama yang ada. Karena Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>melarang menggantungkan tamimah (jimat) apa pun bentuknya. Dan ayat yang digantung semacam itu termasuk tamimah.<br />
<br />
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab <i>rahimahullah </i>dalam Kitab At Tauhid menjelaskan bahwa <i>tamimah</i> adalah segala sesuatu yang digantungkan pada anak-anak dengan tujuan untuk melindungi mereka dari ‘ain (pandangan hasad). Dari Ibnu Mas’ud <i>radhiyallahu ‘anhu</i>, ia berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<br />
<div align="center">إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ</div>“<i>Sungguh jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah syirik</i>”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.<br />
<br />
Sedangkan menggantungkan ayat Qur’an di leher atau bagian badan lainnya tidak diperbolehkan menurut pendapat yang kuat dari pendapat para ulama. Alasannya karena keumuman larangan menggantungkan tamimah. Dan ayat semacam itu termasuk bagian dari tamimah. Alasan kedua, larangan ini dimaksudkan untuk menutup pintu dari hal yang lebih parah yaitu menggantungkan jimat yang bukan dari ayat Qur’an. Alasan ketiga, menggantungkan semacam ini juga dapat melecehkan dan tidak menghormati ayat suci Al Qur’an.<br />
<br />
Adapun menggantungkan ayat Al Qur’an pada selain anggota badan seperti pada mobil, tembok, rumah, atau kantor dengan tujuan untuk ‘ngalap berkah’ dan ada juga yang bertujuan untuk mengusir setan, maka saya tidak mengetahui kalau ada ulama yang membolehkannya. Perbuatan semacam ini termasuk menggunakan tamimah yang terlarang. Dan alasan kedua, perbuatan semacam ini termasuk pelecehan pada Al Qur’an. Juga alasan ketiga, hal semacam ini tidak ada pendahulunya (tidak ada salafnya). Para ulama di masa silam tidaklah pernah menggantungkan ayat Qur’an di dinding untuk tujuan ‘ngalap berkah’ atau menghindarkan diri dari bahaya. Yang mereka lakukan malah menghafalkan Al Qur’an di hati-hati mereka (bukan sekedar dipajang, pen). Mereka menulis ayat Qur’an di mushaf-mushaf, mereka mengamalkan dan mengajarkan pelajaran hukum dari berbagai ayat. Yang mereka lakukan adalah mentadabburi ayat Al Qur’an sebagaimana perintah Allah. (As Sihr wa Asy Syu’udzah, Syaikh Dr. Sholeh Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul Qosim, 67-69<a href="http://muslim.or.id/aqidah/menggantungkan-ayat-kursi.html#_ftn1" title="">[1]</a>)<br />
<br />
Inilah penjelasan menarik dari beliau <i>hafizhohullah</i>. Untuk melindungi dari berbagai bahaya dan dapat berkah Al Qur’an bukanlah hanya sekedar memajang atau menggantungkan Al Qur’an di leher, di dinding atau di kendaraan sebagaimana yang sering kita saksikan di tengah kaum muslimin dalam kebiasaan mereka menggantungkan ayat kursi. Ayat Al Qur’an bisa bermanfaat ketika dibaca, dihafal di hati, dan ditadabburi. Itulah keberkahan dan manfaat yang bisa diambil dari Al Qur’an Al Karim.<br />
<br />
<div align="center"><i>Wallahu waliyyut taufiq.</i></div><br />
Disusun sehabis ‘Isya di Ummul Hamam, Riyadh KSA<br />
26 Syawwal 1432 H, 24/09/2011<br />
Penulis: <a href="http://rumaysho.com/">Muhammad Abduh Tuasikal</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a><br />
<div><br />
<hr align="left" size="1" width="33%" /><div><a href="http://muslim.or.id/aqidah/menggantungkan-ayat-kursi.html#_ftnref1" title="">[1]</a> Demikianlah pula jawaban beliau dalam sesi tanya jawab saat durus harian Syaikh Sholeh Al Fauzan. Alasan-alasan seperti inilah yang sering beliau terangkan. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi umur beliau.</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-41813269898908536972011-09-20T09:49:00.000+07:002011-09-20T09:49:56.445+07:00Seperti Apakah Memutuskan Tali Silaturahmi itu?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2y2KTPmimJjScrdkyXx1HTAzGSC5Xt_WVcE0dWn6nCShG9aJXACiadAgrzTiQZZhyphenhyphenzeW85XtSbxCo9RC9ZkIe-lHa8LT-F-q9CSip7ZWBy_T2V7PDUjIFuUVzZJKamFArt9WtvYQMPgA/s1600/tali%252Bputus.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2y2KTPmimJjScrdkyXx1HTAzGSC5Xt_WVcE0dWn6nCShG9aJXACiadAgrzTiQZZhyphenhyphenzeW85XtSbxCo9RC9ZkIe-lHa8LT-F-q9CSip7ZWBy_T2V7PDUjIFuUVzZJKamFArt9WtvYQMPgA/s1600/tali%252Bputus.jpg" /></a></div><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<span class="commentBody" data-jsid="text">Bismillah…<br />
<br />
Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat. Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan ke<span class="text_exposed_show">rabat. Dari keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah syar’i, penggunaan kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan atau kunjungan dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat, sebenarnya KURANG PAS.<br />
<br />
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak".<br />
<br />
Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.<br />
<br />
Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian. [Fathul Bari, 10/414]<br />
<br />
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. [Lihat, Murqatul Mafatih, 8/645]<br />
<br />
silaturrahim adalah syari’at agama, dan syari’at ini haruslah sesuai dengan alqur’an dan sunnah yg dipahami oleh para sahabat<br />
<br />
silaturrahim juga menimbang maslahat dan mudhorotnya, dan juga rambu0rambu syari;at pastinya..<br />
<br />
contoh: bila kita dapati kita mempunyai seorang teman akrab yg kafir atau teman yg fasik, dan ketika bersama mereka, kita khawatir akan terbawa mereka, apakah harus kita tetap menjalin hubungan dengan mereka? Ya, itulah makna dari menimbang antara maslahat dan mudhorotnya, jika memang mudhorotnya lebih besar maka kita buat agar hubungan kita dengan mereka menjadi renggang, ingat renggang bukan putus! Atau jika kita merasa kuat imannya, maka terus lah untuk mendakwahi mereka<br />
<br />
bila kita mempunyai teman akrab yg bukan mahromnya, sering curhat telpon-telponan, dsb, lalu setelah paham bahwasannya hal tersebut salah, lalu bagaimana?<br />
<br />
Sami’na wa atho’na, kami tunduk dan kami taat..!<br />
<br />
Jika memang kita telah paham akan suatu yg haq, maka keharusan bagi kita untuk mengikuti al haq dan menjauhkan kebathilan, jika memang telah paham bahwasannya hal-hal di atas tersebut salah, apakah kita akan tetap membiarkannya beljalan? Ya, tentu saja tidak! Maka haruslah kita merenggangkan hubungan tersebut, walau dengan renggang yg sangat jauh, ingat renggang bukan putus!<br />
<br />
Dan kembali ke pemahaman “silaturrahim” itu sendiri secara syar’i, telah disebutkan bahwa penamaan silaturrahim kepada yg bukan terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak itu kurang PAS.<br />
<br />
dan sejauh pemahaman ana, tidak ada ulama yg memaknai silaturrahim itu terletak pada sembarang orang saja, jika menelisik dari perkataan ulama yg ana nukil tadi, maka semua dari mereka mengartikan penamaan silaturrahim ini kepada kerabat yg memiliki hubungan darah baik yg berhak mewarisi atau tidak, baik yg sebagai mahrom atau pun bukan<br />
<br />
maka, jika ada yg mengatakan "kita memutus tali silaturrahim terhadap seseorang (padahal orang tersebut tidaklah memiliki hubungan darah dengan kita)" sejauh pehamanan ana, dan menukil perkataan ulama di atas, maka hal tersebut tidaklah termasuk kedalam penamaan silaturrahim -wallahu a'lam-<br />
<br />
Semoga dapat membantu<br />
<br />
Billahit taufik<br />
<br />
Allahu a’lam</span></span><br />
<br />
<span class="commentBody" data-jsid="text"><span class="text_exposed_show">=========================================================================</span></span><br />
<span class="commentBody" data-jsid="text"><span class="text_exposed_show">penulis: akhina Gugus Gustian</span></span>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-86225597373991882702011-09-16T09:23:00.000+07:002011-09-16T10:29:39.245+07:00Sabar Ketika Di sakiti orang lain<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcK4x0PSv_YqIt_aLWrOCQP0u9Ohf33WJ1qNA94J57D5enFamPI5PsICdiDdcjjxpFYUhX6ebQAzl6lUPz7uSP-b1u7AvXeQdJiR0WqPE8uTF5UhPlg4yfbzL407jdqBqXqU80gtZhxhU/s1600/13972-brokenheart.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcK4x0PSv_YqIt_aLWrOCQP0u9Ohf33WJ1qNA94J57D5enFamPI5PsICdiDdcjjxpFYUhX6ebQAzl6lUPz7uSP-b1u7AvXeQdJiR0WqPE8uTF5UhPlg4yfbzL407jdqBqXqU80gtZhxhU/s200/13972-brokenheart.jpg" width="200" /></a>Ku persembahkan tulisan ini untuk sahabatku yang terluka hatinya karena buruknya ucapan seseorang.. Ku Hadiahkan tulisan ini untuk sahabatku yang menitikkan air mata karena caci maki seseorang, ku dedikasikan tulisan ini bagi sahabatku yang menjerit pada Robb-Nya, mengadu, bahwa ia disakiti oleh seseorang.. semoga Allah subhanahu wata'ala mencurahkan pahala atas kesabarannya, dan semoga Allah subhanahu wata'ala memberikan hidayah kepada seorang ukhti yang tidak bisa menjaga mulutnya..<br />
<br />
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,<br />
<br />
Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu seorang hamba untuk dapat melaksanakan kesabaran jenis kedua (yaitu<b> bersabar ketika disakiti orang lain</b>)<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="background-color: #d9d2e9; color: blue;"><strong>Pertama</strong></span><span style="background-color: #d9d2e9;">,</span><span style="background-color: #d9d2e9; color: #660000;"> <span style="color: #351c75;">hendaknya dia mengakui bahwa Allah </span></span><em style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">ta’ala</em><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> adalah <b>Zat yang menciptakan segala perbuatan hamba</b>, baik itu gerakan, diam dan keinginannya. Maka segala sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti akan terjadi. Dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah untuk terjadi, maka pasti tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada satupun benda meski seberat </span><em style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">dzarrah</em><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> (semut kecil, ed) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin dan kehendak Allah. Oleh karenanya, hamba adalah ‘</span><em style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">alat</em><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">’. Lihatlah kepada Zat yang menjadikan pihak lain menzalimimu dan janganlah anda melihat tindakannya terhadapmu. (Apabila anda melakukan hal itu), maka anda akan terbebas dari segala kedongkolan dan kegelisahan. </span><br />
<br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kedua</strong>, hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah diperbuatnya dan mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan pihak lain menzalimi (dirinya), maka itu semua dikarenakan dosa-dosa yang telah dia perbuat sebagaimana firman Allah <em>ta’ala</em>,</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”</em> (QS. Asy Syuura: 30).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Apabila seorang hamba mengakui bahwa segala musibah yang menimpanya dikarenakan dosa-dosanya yang telah lalu, maka dirinya akan sibuk untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang menjadi sebab Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk melakukan hal itu dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai pihak yang telah menzaliminya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">(Oleh karena itu), apabila anda melihat seorang yang mencela manusia yang telah menyakitinya dan justru tidak mengoreksi diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar kepada Allah, maka ketahuilah (pada kondisi demikian) <b>musibah yang dia alami justru adalah musibah yang hakiki</b>. (Sebaliknya) apabila dirinya bertaubat, beristighfar dan mengucapkan,<em> “Musibah ini dikarenakan dosa-dosaku yang telah saya perbuat.”</em> Maka (pada kondisi demikian, musibah yang dirasakannya) justru berubah menjadi kenikmatan.</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Ali bin Abi Thalib <em>radliallahu ‘anhu</em> pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ<em> </em></div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Hendaknya seorang hamba hanya berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut terhadap akibat yang akan diterima dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya</em>.”<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftn1">[1]</a></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Dan terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ</div><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Musibah turun disebabkan dosa dan diangkat dengan</em><em> </em><em>sebab taubat.” </em></div><div style="color: #351c75;"><em><br />
</em></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: justify;"><strong>Ketiga</strong>,<span style="background-color: #d9d2e9;"> hendaknya seorang mengetahui pahala yang disediakan oleh Allah </span><em style="background-color: #d9d2e9;">ta’ala</em><span style="background-color: #d9d2e9;"> bagi orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap tindakan orang lain yang menyakitinya). Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,</span></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: justify;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: right;"><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span>وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: justify;"><em>“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”</em> (QS. Asy Syuura: 40).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: justify;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Ditinjau dari segi penunaian balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> <strong>[1]</strong> golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas,<strong> </strong></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong> [2]</strong> golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya dan <strong> </strong></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>[3]</strong> golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang menzalimi dan justru meniggalkan haknya untuk membalas. </div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Allah <em>ta’ala</em> menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">(Hendaknya dia juga) mengetahui panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”</em><a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftn2">[2]</a></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">(Ketika panggilan ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang berdiri melainkan mereka yang (sewaktu di dunia termasuk golongan) yang (senantiasa) memaafkan dan bersabar (terhadap gangguan orang lain kepada dirinya).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Apabila hal ini diiringi dengan pengetahuan bahwa segala pahala tersebut akan hilang jika dirinya menuntut dan melakukan balas dendam, maka tentulah dia akan mudah untuk bersabar dan memaafkan (setiap pihak yang telah menzaliminya).</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Keempat</strong>, hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Manfaat di atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup dalam firman Allah <em>ta’ala</em>,</div><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”</em> (QS. Ali Imran: 134).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">(Dengan melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi yang dicintai Allah. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia malah <strong>menerima ganti puluhan ribu dinar</strong>. (Dengan demikian), dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kelima,</strong> hendaknya dia mengetahui bahwa seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya. <strong>Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya</strong>. Keutamaan ini telah diberitakan oleh rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>melalui sabdanya,</div><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf</em>.”<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftn3">[3]</a></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">(Berdasarkan hadits di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu (tentu) lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin. (Sedangkan) sikap memaafkan (terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin, namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Keenam,</strong> -dan hal ini merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat-, yaitu hendaknya dia mengetahui bahwa setiap balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari) bahwa dirinya adalah seorang yang zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia mengetahui bahwa setiap orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap dirinya, maka Allah pun akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan ampun setiap manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang akan mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah) memaafkan dan berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya. Manfaat ini tentu sangat mencukupi seorang yang berakal (agar tidak melampiaskan dendamnya).</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Ketujuh, </strong>hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dirinya disibukkan dengan urusan pelampiasan dendam, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan hatinya pun akan terpecah (tidak dapat berkonsentrasi untuk urusan yang lain-pent). Berbagai manfaat justru akan luput dari genggamannya. Dan kemungkinan hal ini lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh berbagai pihak yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan fisiknya akan merasa <em>“fresh”</em> untuk mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih penting bagi dirinya daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kedelapan, </strong>sesungguhnya pelampiasan dendam yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri yang dilandasi oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi, padahal menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah <em>ta’ala</em> dan menyakiti beliau termasuk di antara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Jiwa beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap berbagai pihak yang telah menyakitinya).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Maka bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang <em>arif</em> tentu (menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut balas (karena aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti sehingga patut untuk dibela.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kesembilan,</strong> apabila seorang disakiti atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah (ibadah-pent), atau dia disakiti karena melakukan ketaatan yang diperintahkan atau karena dia meninggalkan kemaksiatan yang terlarang, maka (pada kondisi demikian), dia wajib bersabar dan tidak boleh melakukan pembalasan. Hal ini dikarenakan dirinya telah disakiti (ketika melakukan ketaatan) di jalan Allah, sehingga balasannya menjadi tanggungan Allah.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Oleh karenanya, ketika para mujahid yang berjihad di jalan Allah kehilangan nyawa dan harta, mereka tidak memperoleh ganti rugi karena Allah telah membeli nyawa dan harta mereka.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah, bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya, seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan gantinya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Apabila dia tersakiti akibat musibah yang menimpanya, maka hendaknya dia menyibukkan diri dengan mencela dirinya sendiri. Karena dengan demikian, dirinya tersibukkan (untuk mengoreksi diri dan itu lebih baik daripada) dia mencela berbagai pihak yang telah menyakitinya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Apabila dia tersakiti karena harta, maka hendaknya dia berusaha menyabarkan jiwanya, karena mendapatkan harta tanpa dibarengi dengan kesabaran merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran itu sendiri.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Setiap orang yang tidak mampu bersabar terhadap panas terik di siang hari, terpaan hujan dan salju serta rintangan perjalanan dan gangguan perampok, maka tentu dia tidak usah berdagang.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Realita ini diketahui oleh manusia, bahwa setiap orang yang memang jujur (dan bersungguh-sungguh) dalam mencari sesuatu, maka dia akan dianugerahi kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar kejujuran (dan kesungguhan) yang dimilikinya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kesepuluh,</strong> hendaknya dia mengetahui kebersamaan, kecintaan Allah dan ridla-Nya kepada dirinya apabila dia bersabar. Apabila Allah membersamai seorang, maka segala bentuk gangguan dan bahaya -yang tidak satupun makhluk yang mampu menolaknya- akan tertolak darinya. Allah <em>ta’ala</em> berfirman,</div><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Allah menyukai orang-orang yang bersabar.”</em> (QS. Ali ‘Imran: 146).</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kesebelas,</strong> hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran merupakan sebagian daripada iman. Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak mengganti sebagian iman tersebut dengan pelampiasan dendam. Apabila dia bersabar, maka dia telah memelihara dan menjaga keimanannya dari aib (kekurangan). Dan Allah-lah yang akan membela orang-orang yang beriman.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kedua belas, </strong>hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran yang dia laksanakan merupakan hukuman dan pengekangan terhadap hawa nafsunya. Maka tatkala hawa nafsu terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu memperbudak dan menawan dirinya serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai kebinasaan.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Tatkala dirinya tunduk dan mendengar hawa nafsu serta terkalahkan olehnya, maka hawa nafsu akan senantiasa mengiringinya hingga nafsu tersebut membinasakannya kecuali dia memperoleh rahmat dari Rabb-nya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Kesabaran mengandung pengekangan terhadap hawa nafsu berikut setan yang (menyusup masuk di dalam diri). Oleh karenanya, (ketika kesabaran dijalankan), maka kerajaan hati akan menang dan bala tentaranya akan kokoh dan menguat sehingga segenap musuh akan terusir.</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><span style="color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Ketiga belas, </strong>hendaknya dia mengetahui bahwa tatkala dia bersabar , maka tentu Allah-lah yang menjadi penolongnya. Maka Allah adalah penolong bagi setiap orang yang bersabar dan memasrahkan setiap pihak yang menzaliminya kepada Allah.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Barangsiapa yang membela hawa nafsunya (dengan melakukan pembalasan), maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya sendiri sehingga dia pun menjadi penolongnya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Jika demikian, apakah akan sama kondisi antara seorang yang ditolong Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang yang ditolong oleh hawa nafsunya yang merupakan penolong yang paling lemah?</div><div style="color: #351c75;"><br />
</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Keempat belas, </strong>kesabaran yang dilakukan oleh seorang akan melahirkan penghentian kezhaliman dan penyesalan pada diri musuh serta akan menimbulkan celaan manusia kepada pihak yang menzalimi. Dengan demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak yang zhalim akan kembali dalam keadaan malu terhadap pihak yang telah dizaliminya. Demikian pula dia akan menyesali perbuatannya, bahkan bisa jadi pihak yang zalim akan berubah menjadi sahabat karib bagi pihak yang dizhalimi. Inilah makna firman Allah <em>ta’ala</em>,</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div dir="rtl" style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75; text-align: center;">ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em> </em><em> </em></div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><em>“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”</em> (QS. Fushshilaat: 34-35).</div><br />
<br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kelima belas, </strong>terkadang pembalasan dendam malah menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang musuh terhadap dirinya. Hal ini juga justru akan memperkuat dorongan hawa nafsu serta menyibukkan pikiran untuk memikirkan berbagai bentuk pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini sering terjadi.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Apabila dirinya bersabar dan memaafkan pihak yang menzhaliminya, maka dia akan terhindar dari berbagai bentuk keburukan di atas. Seorang yang berakal, tentu tidak akan memilih perkara yang lebih berbahaya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Betapa banyak pembalasan dendam justru menimbulkan berbagai keburukan yang sulit untuk dibendung oleh pelakunya. Dan betapa banyak jiwa, harta dan kemuliaan yang tetap langgeng ketika pihak yang dizalimi menempuh jalan memaafkan.</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Keenam belas,</strong> sesungguhnya seorang yang terbiasa membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan terjerumus ke dalam kezaliman. Karena hawa nafsu tidak akan mampu melakukan pembalasan dendam dengan adil, baik ditinjau dari segi pengetahuan (maksudnya hawa nafsu tidak memiliki parameter yang pasti yang akan menunjukkan kepada dirinya bahwa pembalasan dendam yang dilakukannya telah sesuai dengan kezaliman yang menimpanya, pent-) dan kehendak (maksudnya ditinjau dari segi kehendak, hawa nafsu tentu akan melakukan pembalasan yang lebih, pent-).</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><span style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"> </span><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Terkadang, hawa nafsu tidak mampu membatasi diri dalam melakukan pembalasan dendam sesuai dengan kadar yang dibenarkan, karena kemarahan (ketika melakukan pembalasan dendam) akan berjalan bersama pemiliknya menuju batas yang tidak dapat ditentukan (melampaui batas, pent-). Sehingga dengan demikian, posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang dizalimi, yang menunggu pertolongan dan kemuliaan, justru berubah menjadi pihak yang zalim, yang akan menerima kehancuran dan siksaan.</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Ketujuh belas,</strong> kezaliman yang diderita akan menjadi sebab yang akan menghapuskan berbagai dosa atau mengangkat derajatnya. Oleh karena itu, apabila dia membalas dendam dan tidak bersabar, maka kezaliman tersebut tidak akan menghapuskan dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kedelapan belas, </strong>kesabaran dan pemaafan yang dilakukannya merupakan pasukan terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi sang musuh.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Sesungguhnya setiap orang yang bersabar dan memaafkan pihak yang telah menzaliminya, maka sikapnya tersebut akan melahirkan kehinaan pada diri sang musuh dan menimbulkan ketakutan terhadap dirinya dan manusia. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman yang dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang dizalimi mendiamkannya. Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh keutamaan itu akan terluput darinya.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Oleh karena itu, anda dapat menjumpai sebagian manusia, apabila dia menghina atau menyakiti pihak lain, dia akan menuntut penghalalan dari pihak yang telah dizaliminya. Apabila pihak yang dizalimi mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan beban yang dahulu dirasakan akan hilang.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><br />
</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kesembilan belas, </strong>apabila pihak yang dizalimi memaafkan sang musuh, maka hati sang musuh akan tersadar bahwa kedudukan pihak yang dizalimi berada di atasnya dan dirinya telah menuai keuntungan dari kezaliman yang telah dilakukannya. Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa memandang bahwa kedudukan dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah dizaliminya. Maka tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan dari sikap memaafkan.</div><br />
<div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;"><strong>Kedua puluh, </strong>apabila seorang memaafkan, maka sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang akan melahirkan berbagai kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan senantiasa bertambah.</div><div style="background-color: #d9d2e9; color: #351c75;">Sesungguhnya balasan bagi setiap kebaikan adalah kontinuitas kebaikan (kebaikan yang berlanjut), sebagaimana balasan bagi setiap keburukan adalah kontinuitas keburukan (keburukan yang terus berlanjut). Dan terkadang hal ini menjadi sebab keselamatan dan kesuksesan abadi. Apabila dirinya melakukan pembalasan dendam, seluruh hal itu justru akan terluput darinya.</div><br />
<div style="text-align: center;">الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftn4">[4]</a></div><br />
========================================================================== <br />
<br />
<br />
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau-<br />
<div style="text-align: left;">Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim</div><div style="text-align: left;">Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a></div><div style="text-align: left;"> </div><hr size="1" /><a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftnref1">[1]</a> Lihat penjelasan perkataan beliau ini dalam <em>Majmu’ al Fatawa </em>(8/161-180). <a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftnref2">[2]</a> HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih serta selain mereka berdua dari sahabat Ibnu’ Abbas dan Anas. Lihat <em>ad Durr al Mantsur</em> (7/359).<br />
<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftnref3">[3]</a> HR. Muslim (2588) dari sahabat Abu Hurairah.<br />
<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html#_ftnref4">[4]</a> Selesai diterjemahkan dengan bebas dari risalah <strong><em>Al Qo’idatu fish Shobr</em></strong>, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pada hari Senin, tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1430 H, Griya Cempaka Arum K4/7, Bandung.<br />
<em><br />
</em><br />
<em> </em>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-5827208781155254662011-09-09T08:19:00.000+07:002011-09-16T10:29:45.652+07:00Bolehkan mendahulukan Puasa Sunnah dari Qodho Puasa?<em>Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.</em><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8SH5HHNIPJqFsdQjo5olZgAvZcXY0rJN2cbOKzRee5n6QfSZL0Mev4Pk36kKItPBZMN4vy_hwyCkt9wLoic09xmKhHDvK6v63lh_P9OdPWsIWSKMwgQXbYBsLTtCiDKkZ-wEfPWPSEcc/s1600/incredible-orange-flower.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8SH5HHNIPJqFsdQjo5olZgAvZcXY0rJN2cbOKzRee5n6QfSZL0Mev4Pk36kKItPBZMN4vy_hwyCkt9wLoic09xmKhHDvK6v63lh_P9OdPWsIWSKMwgQXbYBsLTtCiDKkZ-wEfPWPSEcc/s400/incredible-orange-flower.jpg" width="400" /></a></div><em> </em> <br />
Permasalahan ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho’ puasa. Di bulan Syawal pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho’ (utang) puasa? Lantas bagaimana jika hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna karena mesti mengqodho’ puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut.<br />
<a name='more'></a><br />
<span style="color: red;"><strong>Perselisihan Ulama<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn1"><strong>[1]</strong></a></strong></span><br />
Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho’ puasa Ramadhan.<br />
<br />
Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan. Mereka <em>sama sekali tidak mengatakannya makruh</em>. Alasan mereka, qodho’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.<br />
<br />
Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”<br />
<br />
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang <em>bolehnya namun disertai makruh</em> jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).<br />
<br />
Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”<br />
<br />
Para ulama Hanabilah menyatakan <em>diharamkan</em> mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa <em>tidak sah</em> jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,<br />
<br />
<div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه</span></div>“<em>Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib</em>.”<br />
Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang <b><em>dho’if</em> (lemah)</b>.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn2">[2]</a> Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.<br />
<br />
<span style="color: red;"><strong>Merujuk pada Dalil</strong></span><br />
<br />
Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang <em>dho’if</em> sebagaimana diterangkan di atas.<br />
<br />
Dalam mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah <em>Ta’ala</em> sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,<br />
<div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ</span></div>“<em>Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain</em>.” (QS. Al Baqarah: 185).<br />
<br />
Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah <em>radhiyallahu ‘anha.</em> Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah <em>radhiyallahu ‘anha </em>mengatakan,<br />
<br />
<div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ</span></div>“<em>Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban</em>.”<br />
Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn3">[3]</a><br />
<br />
Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn4">[4]</a><br />
<br />
<span style="color: red;"><strong>Pendapat Terkuat</strong></span><br />
<br />
Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah <b><em>bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho’ puasa selama waktu</em><em> mengqodho’ puasa masih longgar</em>.</b> Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, <em>puasanya sah dan ia pun tidak berdosa</em>. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah <em>Ta’ala</em> berfirman (yang artinya), “<em>Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain</em>” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah <em>Ta’ala</em> untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa ada kelapangan.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn5">[5]</a><br />
<br />
<span style="color: red;"><strong>Masalah Puasa Syawal</strong></span><br />
<br />
Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<br />
<div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ</span></div>“<em>Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh</em>.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn6">[6]</a><br />
<br />
Ibnu Rajab <em>rahimahullah</em> mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn7">[7]</a><br />
<br />
Ibnu Rajab <em>rahimahullah </em>kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, <em>maka itu lebih baik</em>. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn8">[8]</a><br />
<br />
Sebelumnya Ibnu Rajab <em>rahimahullah</em> menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, <em>ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh)</em>. Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn9">[9]</a><br />
Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat –sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, <em>maka puasanya tetap sah</em>. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.<br />
<br />
<span style="color: red;"><strong>Kasus Wanita Haidh</strong></span><br />
<br />
Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.<br />
<br />
Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz <em>rahimahullah, </em>beliau<em> </em>menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn10">[10]</a> baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i,<br />
<br />
‘<em>Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah </em><em>engkau</em><em> kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda</em>,<br />
<br />
<div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً</span></div><br />
“<em>Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat</em>.” <em>(HR. Bukhari dalam kitab shahihnya)</em>. <em>Jadi</em>, e<em>ngkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal)</em><em>’</em>.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4738109807675199753#_ftn11">[11]</a><br />
<br />
Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz <em>rahimahullah</em> berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya.<br />
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. <em>Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. </em><br />
<br />
Diselesaikan di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul<br />
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal<br />
Artikel <a href="http://www.rumaysho.com/">www.rumaysho.com</a><br />
<br />
=========================================================================<br />
sumber: <a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3186-bolehkah-mendahulukan-puasa-sunnah-dari-qodho-puasa.html">http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3186-bolehkah-mendahulukan-puasa-sunnah-dari-qodho-puasa.html</a><br clear="all" /> <br />
<br clear="all" /> <br />
<br clear="all" /> <br />
<hr />Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-48420364700464649392011-09-09T08:04:00.000+07:002011-09-09T08:04:34.086+07:00Apakah Puasa Hari Sabtu Terlarang?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4bJMmkMfuy3acIqMU_130R6T37DUwQD75b3Jk7TDA8319ELHzNyOBYhOhvG1JfJM4U7c80C01ZcC59s1ybPeAOWiroQl56_rwFcFQYxMhbVORP1fQetm0eiOppeQUWDjdJokRNPxSjTA/s1600/Puasa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><br />
</a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4bJMmkMfuy3acIqMU_130R6T37DUwQD75b3Jk7TDA8319ELHzNyOBYhOhvG1JfJM4U7c80C01ZcC59s1ybPeAOWiroQl56_rwFcFQYxMhbVORP1fQetm0eiOppeQUWDjdJokRNPxSjTA/s1600/Puasa.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4bJMmkMfuy3acIqMU_130R6T37DUwQD75b3Jk7TDA8319ELHzNyOBYhOhvG1JfJM4U7c80C01ZcC59s1ybPeAOWiroQl56_rwFcFQYxMhbVORP1fQetm0eiOppeQUWDjdJokRNPxSjTA/s320/Puasa.jpg" width="247" /></a></div><div dir="ltr"><span style="font-size: large;">Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu. Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan berikut bisa menjawab keraguan yang ada.</span></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="color: red;"><strong>Larangan Puasa Hari Sabtu</strong></span></div><div dir="ltr">Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr" style="text-align: right;"><span style="font-size: 14pt;">لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ</span></div><div dir="ltr">“<em>Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.</em>”<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn1">[1]</a> Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini <em>mansukh</em> (telah dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini <em>hasan</em>.</div><a name='more'></a><br />
<div dir="ltr"></div><span style="color: red;"><strong>Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu</strong></span><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Pertama</span>: </div><div dir="ltr">Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad.</div><div dir="ltr">Dari Ummu Salamah, ia berkata,</div><div dir="ltr"><br />
</div><div align="center" dir="rtl"><span style="font-size: 14pt;">كان أكثر صومه السبت و الأحد و يقول : هما يوما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم</span></div><div dir="ltr">“<em>Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad</em>.” Beliau pun berkata, “<em>Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.</em>”<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn2">[2]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Kedua</span>: </div><div dir="ltr">Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.</div><div dir="ltr">Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr" style="text-align: right;"><span style="font-size: 14pt;">« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »</span></div><div dir="ltr">“<em>Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?</em>” Istrinya mengatakan, “<em>Tidak</em>.”</div><div dir="ltr">Kemudian Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata lagi, “<em>Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?</em>” Istrinya mengatakan, “<em>Tidak</em>.” “<em>Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu</em>”, jawab Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn3">[3]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Ketiga</span>:</div><div dir="ltr"> Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>membolehkan berpuasa pada hari Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="rtl" style="text-align: right;"><span style="font-size: 14pt;">نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الجمعة إلا بيوم قبله أو يوم بعده .</span></div><div dir="ltr">“<em>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya</em>.”<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn4">[4]</a> Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keempat</span>:</div><div dir="ltr"> Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Kelima</span>:</div><div dir="ltr"> Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memerintahkan untuk melakukan puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keenam</span>: </div><div dir="ltr">Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Ketujuh</span>: </div><div dir="ltr">Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menganjurkan berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga akan bertemu dengan hari Sabtu.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn5">[5]</a></div><div dir="ltr">Dari hadits yang begitu banyak (<em>mutawatir</em>), Al Atsrom membolehkan berpuasa pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn6">[6]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini <em>syadz</em>, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn7">[7]</a></div><div dir="ltr">Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikutkan dengan hari sebelumnya.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn8">[8]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Kesimpulan</span>:</div><ol><li>Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.</li>
<li>Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah <em>jayid</em> (boleh jadi <em>shahih</em> atau <em>hasan</em>). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn9">[9]</a></li>
</ol><div dir="ltr"><span style="color: red;"><strong>Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu</strong></span></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keadaan pertama</span>: </div><div dir="ltr">Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti <em>hadyu tamattu’ </em>dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keadaan kedua</span>: </div><div dir="ltr">Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,</div><div dir="ltr" style="text-align: right;"><span style="font-size: 14pt;">« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »</span></div><div dir="ltr">“<em>Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?</em>” Istrinya mengatakan, “<em>Tidak</em>.”</div><div dir="ltr">Kemudian Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata lagi, “<em>Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?</em>” Istrinya mengatakan, “<em>Tidak</em>.” “<em>Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu</em>”, jawab Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn10">[10]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Perkataan beliau “<em>Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?</em>”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keadaan ketiga</span>: </div><div dir="ltr">Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah <span style="text-decoration: underline;">hari yang disyari’atkan untuk berpuasa</span>. Seperti berpuasa pada <em>ayyamul bid </em>(13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keadaan keempat</span>: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="text-decoration: underline;">Keadaan kelima</span>: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn11">[11]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><span style="color: red;"><strong>Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu</strong></span></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><strong>Soal: </strong></div><div dir="ltr">Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr"><strong>Jawab:</strong></div><div dir="ltr">Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai Ketua.<a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html#_ftn12">[12]</a></div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.</div><div dir="ltr">Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.</div><div dir="ltr"><br />
</div><div dir="ltr">Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal</div><div dir="ltr">Artikel <a href="http://rumaysho.com/">http://rumaysho.com</a></div><div dir="ltr">Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H<br />
<br />
=========================================================================<br />
sumber: <a href="http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html">http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2781-apakah-puasa-hari-sabtu-terlarang.html</a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-46992609658482236492011-09-08T08:48:00.000+07:002011-10-05T15:07:14.126+07:00Hukum Arisan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja4kZ2cE-1ut8e4FgRHto-LabUj8bJ_oomMc8aLiBIT8aegmlOpuuHWm3HApvB8-8ICJnMyj-IlGKohrcYMTMDiI1W_bG9Wv50dbc4vLaBkI7ke365yENNWZDzG_koSv4zdxlOl_SGdSs/s1600/100_0710.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja4kZ2cE-1ut8e4FgRHto-LabUj8bJ_oomMc8aLiBIT8aegmlOpuuHWm3HApvB8-8ICJnMyj-IlGKohrcYMTMDiI1W_bG9Wv50dbc4vLaBkI7ke365yENNWZDzG_koSv4zdxlOl_SGdSs/s320/100_0710.jpg" width="240" /></a></div>di zaman ini, dan mungkin dari zaman dahulu kala, arisan sudah begitu populer, khususnya di kalangan ibu-ibu.. lantas bagaimanakah pandangan Islam mengenai arisan?<br />
<br />
<br />
<i>Pertanyaan, “Apa hukum arisan? Arisan adalah sekumpulan orang yang menyerahkan sejumlah uang setiap bulan sehingga ada orang yang secara bergilir mendapatkan uang-uang tersebut setiap bulannya. Apakah ini termasuk transaksi hutang piutang yang membuahkan manfaat tambahan?”</i><br />
<i>-http://ustadzaris.com/hukum-arisan- </i><br />
<i><br />
</i><br />
<i>Bagaimanakah dengan kegiatan perkumpulan arisan yang sering dilakukan ibu-ibu?</i><br />
<i><br />
</i><br />
<i><br />
</i><br />
<i></i><br />
<i><br />
</i><br />
<i></i><br />
<a name='more'></a><b>jawaban pertanyaan pertama:</b><br />
<br />
<br />
Jawaban Syaikh Abdul Azizi ar Rajihi, “Hal ini hukumnya adalah tidak mengapa. Arisan itu termasuk dalam bagian dari upaya tolong menolong. Ada sepuluh atau dua puluh orang kemudian setiap orang menerima uang yang berasal dari gabungan semua anggota arisan secara bergilir. Kegiatan semacam ini tidaklah masalah”.<br />
<br />
========================================================================== <br />
Sumber:<br />
http://shrajhi.com/?Cat=1&Fatawa=472<br />
========================================================================== <br />
<strong>Catatan:</strong><br />
Mubah adalah hukum asal arisan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hukum asal ini bisa berubah dalam kondisi tertentu karena ada ketidakadilan dalam pelaksanaan arisan.<br />
Artikel <a href="http://ustadzaris.com/">www.ustadzaris.com</a><br />
<br />
<b>jawaban pertanyaan kedua: </b><br />
<br />
<ul><li> Arisan termasuk urusan muamalat manusia, dan kaidahnya “<strong>Asal dalam mu’amalah adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya</strong>”. Bahkan, arisan merupakan salah satu bentuk sosial yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sesama.</li>
</ul><ul><li> <strong>Syaikh Ibnu Utsaimin</strong> berkata: “<strong>Arisan hukumnya adalah boleh</strong>, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori “memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat” maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 1/838)<span id="more-224"></span></li>
</ul><ul><li> Jadi, arisan hukumnya<strong> boleh</strong> bahkan memiliki manfaat. Namun perlu diingatkan di sini bahwa dalam acara arisan hendaknya <strong>diisi</strong> dengan <strong>sesuatu yang bermanfaat</strong> seperti pengajian ilmu, nasehat atau hal-hal yang bermanfaat, minimal adalah perkara-perkara yang mubah,<strong> janganlah</strong> mengisi acara arisan dengan hal-hal yang <strong>haram</strong> seperti yang banyak terjadi, seperti: <strong>ghibah</strong>, mendengar <strong>nyanyian</strong>, <strong>senda gurau yang berlebihan</strong> dan lain sebagainya. </li>
</ul>========================================================================= <br />
dijawab oleh <span style="font-size: small;"><a href="http://abiubaidah.com/"><strong>Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi</strong></a></span><br />
<a href="http://abiubaidah.com/">http://abiubaidah.com</a><br />
<br />
Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-52962872952351587112011-09-07T16:51:00.000+07:002011-09-07T16:51:38.686+07:00Jika Nasehat Anda ingin di dengar<div> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzpqFuozR0HEmlXNatzrTwLEbP5cKOozJdaVDF7h20RHNvbOxWYNyeZQl8dxiT7FwZOCA39C-hGKUF5My6mV8Jpy3KEblWoz2vrpkLVXHGp6fbjjXQN0n5Om7dl17Xzs2IyvPrYPgTUX4/s1600/berbisik-b.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzpqFuozR0HEmlXNatzrTwLEbP5cKOozJdaVDF7h20RHNvbOxWYNyeZQl8dxiT7FwZOCA39C-hGKUF5My6mV8Jpy3KEblWoz2vrpkLVXHGp6fbjjXQN0n5Om7dl17Xzs2IyvPrYPgTUX4/s1600/berbisik-b.jpg" /></a></div><br />
Anda ingin nasehat yang anda sampaikan didengar dan disimak? Tidak ada salahnya jika anda meluangkan waktu untuk membaca artikel berikut.<br />
<br />
<a name='more'></a> <span style="color: red;"><strong>Islam Terbangun Di Atas Nasehat</strong></span> <br />
Agama ini memerintahkan pemeluknya untuk menggalakkan budaya nasehat. Nasehat akan memperbaiki kepribadian seorang yang dahulunya buruk. Nasehat pulalah yang mampu menciptakan persaudaraan yang sejati. Namun, kesemuanya itu barulah dapat terwujud apabila nasehat yang disampaikan dapat membekas dan meresap di dalam jiwa.<br />
<br />
Allah <em>ta’ala</em> memerintahkan nabi untuk memberikan nasehat yang dapat mempengaruhi jiwa para pendengarnya,<br />
<div style="text-align: center;">أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)</div><em>“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka wejangan/nasehat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.”</em> (An Nisaa: 63).<br />
<br />
Imam Asy Syaukani <em>rahimahullah</em> mengatakan, maksudnya adalah dalam tujuan nasehat diketahui dan membekas di dalam jiwa mereka (<em>Fathul Qadir </em>1/729; <em>Asy Syamilah</em>).<br />
<br />
<span style="color: red;"><strong>Nasehat yang Sukses</strong></span><br />
Sukses dalam memberikan nasehat haruslah memperhatikan beberapa kriteria berikut:<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Topik yang sesuai</em></span><br />
<br />
Nasehat haruslah disampaikan dengan memperhatikan topik yang dibutuhkan oleh para pendengar. Jangan sampai anda memberikan nasehat dengan topik yang tidak mereka butuhkan.<br />
Sebagai permisalan, apabila anda melihat mayoritas manusia lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat, maka topic yang seharusnya disampaikan adalah menghasung mereka untuk cinta kepada akhirat dan berlaku zuhud (tidak tamak) terhadap dunia.<br />
Namun, jika seorang menasehati mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, sementara mereka belum mampu untuk melaksanakan berbagai ajaran agama yang sifatnya wajib, maka topik nasehat yang disampaikan pada saat itu tidaklah tepat, karena unsur hikmah dalam memilih topik kurang diperhatikan.<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Bahasa yang fasih dan runut</em></span><br />
<br />
Kefasihan sangat dituntut dalam nasehat yang hendak disampaikan. Sahabat pernah mengatakan,<br />
<br />
<div style="text-align: center;">وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا بَعْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ ….</div><em>“Selepas shalat Subuh, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat yang sangat menyentuh, hati kami bergetar dan air mata pun berlinang.”</em><br />
(HR. Tirmidzi: 2676. Diabsahkan oleh Syaikh Al Albani dalam <em>Misykatul Mashabih</em>: 165).<br />
<br />
Maka seorang pemberi nasehat hendaknya menyampaikan nasehat dengan lafadz yang terbaik, yang paling mampu menyentuh jiwa para pendengar, sehingga merekapun tertarik untuk mendengarnya.<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Waktu dan kondisi yang tepat</em></span><br />
<br />
Waktu yang tepat juga turut berpengaruh. Seorang pemberi nasehat hendaknya memilih momen yang tepat untuk menyampaikan nasehatnya.<br />
<br />
Pada hadits yang lalu, dapat kita perhatikan bahwa nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menyampaikan wejangan kepada para sahabatnya di waktu Subuh. Pada waktu tersebut, tubuh sedang berada dalam kondisi puncak, setelah di waktu malam beristirahat. Demikian pula, pada waktu tersebut, pikiran masih jernih, belum terbebani.<br />
<br />
Maka seorang pemberi nasehat harus mampu memperhatikan kondisi orang yang hendak dinasehati, apakah pada saat itu dia siap menerima nasehat ataukah tidak.<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Jangan bertele-tele</em></span><br />
<br />
Nasehat juga janganlah bertele-tele dan panjang sehingga membosankan. Abu Wa-il pernah mengatakan, “Ammar <em>radhiallahu ‘anhu</em> pernah menyampaikan khutbah kepada kami secara ringkas namun mengena.<br />
<br />
Ketika selesai, maka kami mengatakan kepada beliau, <em>“Alangkah baiknya jika anda memperpanjang khutbah”</em> Maka beliau menjawab, <em>“Sesungguhnya saya pernah mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang dan pendeknya khutbay yang disampaikan olehnya merupakan tanda akan kefakihan dirinya” Maka hendaklah kalian memperpanjang shalat dan memperpendak khutbah.”</em> (HR. Muslim: 869).<br />
<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memberikan tuntunan kepada uamtnya untuk tidak bertele-tele dan berlama-lama dalam menyampaikan nasehat karena hal itu akan menyebabkan pendengar bosan.<br />
<br />
<strong> </strong><br />
<span style="color: red;"><strong>Karakter Sang Pemberi Nasehat</strong></span><br />
<br />
Materi yang bagus memang turut berpengaruh terhadap suksesnya nasehat, namun sang pemberi nasehat pun harus menghiasi dirinya dengan beberapa hal berikut:<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Yakin akan apa yang diucapkan</em></span><br />
<br />
Pemberi nasehat merupakan orang yang pertama kali harus meyakini akan apa yang akan diucapkan dalam nasehatnya, dialah yang pertama kali harus terpengaruh terhadap nasehat yang hendak disampaikan.<br />
<br />
Ammar bin Dzar <em>rahimahullah</em> pernah ditanya oleh anaknya, “Mengapa tatkala orang lain berbicara, tidak ada satupun yang menangis. Namun, ketika engkau berbicara, wahai ayahku, kami mendengar tangisan dimana-mana?” Maka Ammar menjawab, “Wahai anakku, nasehat yang tulus tidaklah sama dengan nasehat yang direkayasa.” <em>(Hilyatul Auliya </em>5/111; <em>Ihya Ulumiddi</em>n 4/187; <em>Asy Syamilah</em>).<br />
<br />
Anda dapat memperhatikan apabila nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memberikan nasehat kepada para sahabat. Beliau menyampaikan nasehat dengan serius, dengan suara yang tinggi sedang mata beliau memerah, seakan-akan saat itu beliau sedang mengomandoi pasukan. Ini menunjukkan keyakinan beliau akan kandungan yang terdapat dalam nasehat beliau.<br />
<br />
Oleh karena itu, sahabat Irbadh <em>radhiallahu ‘anhu</em> pun menggambarkan bahwa nasehat beliau merupakan nasehat yang menggetarkan jiwa dan mampu membuat air mata ini berlinang.<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Hati yang Bebas Penyakit</em></span><br />
<br />
Tulusnya nasehat merupakan buah dari hati yang bersih dari penyakit. Seorang yang memiliki hati yang berpenyakit, maka dapat dipastikan bahwa nasehat yang disampaikannya tidaklah mampu menghunjam dalam hati pendengarnya. Tengok kembali perkataan Ammar bin Dzar <em>rahimahullah</em> di atas! Apabila hati yang dipenuhi penyakit ini diiringi dengan akhak yang buruk, maka nasehat yang diucapkan pun tentu hanya dianggap sebagai angin lalu.<br />
<br />
<span style="color: blue;"><em>Teladan yang Baik</em></span><br />
<br />
Seorang pemberi nasehat haruslah menjadi <em>qudwah</em> (teladan) dalam perkataan dan perbuatan, karena orang yang mendengar nasehatnya mesti akan memperhatikan gerak-geriknya. Jika ternyata orang yang senantiasa memberikan nasehat kepada mereka justru melanggar wejangan yang diberikan, maka mereka akan meremehkannya dan akan berpaling, tidak menghiraukan dirinya dan nasehatnya lagi. Betapa banyak kita menjumpai da’i-’da’i yang tidak mampu mendorong dirinya untuk menjadi teladan yang baik bagi para <em>mad’u</em> (objek dakwah)-nya.<br />
<br />
Semoga artikel ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. <em>Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.</em><br />
=========================================================================== <br />
Gedong Kuning, Yogyakarta, 7 Rabi’uts Tsaani 1431.<br />
Penulis: <a href="http://ikhwanmuslim.com/">Muhammad Nur Ichwan Muslim</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-51801997812304539042011-09-07T16:44:00.000+07:002011-09-07T16:45:00.718+07:00Dimana Air Matamu??<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEBHABTZHdnJBBKxqx8dNPYH2ZBwNBDk8oI7mzdcxR5WdVb7X5CtbGQciAlL2QZMzLY6LGcN_yRjnbpSRGvDqSBfbPb0KZpLvya02fSRm0kvW0M4hGytQNffbbACF-ITVYmVI5K83YlDY/s1600/air-bersih.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEBHABTZHdnJBBKxqx8dNPYH2ZBwNBDk8oI7mzdcxR5WdVb7X5CtbGQciAlL2QZMzLY6LGcN_yRjnbpSRGvDqSBfbPb0KZpLvya02fSRm0kvW0M4hGytQNffbbACF-ITVYmVI5K83YlDY/s1600/air-bersih.jpg" /></a></div><br />
Nabi<em> shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, “<em>Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya</em>.” (HR. Tirmidzi [1633]).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> juga bersabda, “<em>Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis)</em>.”<br />
(HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).<br />
<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>juga bersabda, “<em>Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.</em>”<br />
(HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).<br />
<br />
Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, “<em>Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah</em>.”<br />
(HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])<br />
<br />
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.<br />
<br />
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”<br />
<br />
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam </em>berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.”<br />
(HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).<br />
<br />
Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus <a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/di-mana-air-matamu.html">menangis </a>sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).”<br />
(HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).<br />
<br />
Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.<br />
al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”<br />
<br />
Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.<br />
<br />
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.<br />
<br />
Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”<br />
Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? <em>Laa haula wa laa quwwata illa billah!</em> Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “<em>Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.</em>” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><em>Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!</em></div><div style="text-align: center;"><br />
</div>Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.<br />
Penulis: <a href="http://abumushlih.com/">Abu Mushlih Ari Wahyudi</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">www.muslim.or.id</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-56432460463560855002011-09-07T16:01:00.001+07:002011-09-07T16:02:32.334+07:00Sebuah Botol Misterius<div style="text-align: center;"><a href="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol.jpeg"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-1825" height="320" src="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol.jpeg?w=66&h=123" title="botol" width="169" /></a></div><div style="text-align: center;">Misalnya Anda merasa kehausan di siang hari yang panas. Kemudian di hadapan Anda ada 10 buah Botol berisi air mineral. Ke-9 botol yang ada di hadapan Anda bertuliskan begini:<span id="more-1820"></span></div><div style="text-align: center;">“Air dalam botol ini sudah teruji di laboratorium. Para dokter dan ahli kesehatan telah terbiasa meminumnya”.</div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: left;">Hanya satu botol yang masih misteri. Tidak ada tulisan apa-apa di sana. Para dokter dan ahli kesehatan tidak ada seorang pun yang meminumnya.</div><div style="text-align: left;">Tentang botol yang masih misteri ini orang-orang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan:</div><div style="text-align: left;"><a href="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol2.jpeg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" class="alignright size-full wp-image-1826" height="116" src="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol2.jpeg?w=116&h=116" title="botol2" width="116" /></a><b>“Jangan diminum! Sebab airnya mengandung racun. Buktinya para dokter dan ahli kesehatan tidak ada yang meminumnya.”</b></div><div style="text-align: left;">Ada juga yang berkata:</div><div style="text-align: left;"><b>“Minum saja nggak apa-apa. Insya Alloh nggak bahaya. Tergantung niat kita”</b></div><div style="text-align: left;">Nah, kemudian Anda diberi kebebasan untuk memilih botol yang mana saja untuk menghilangkan dahaga. Anda cukup meminum 1-2 botol saja untuk menghilangkan dahaga Anda. Kira-kira botol mana yang akan Anda pilih? Apakah Anda akan memilih botol yang masih misteri? Ataukah Anda akan memilih botol yang sudah jelas teruji isi airnya?</div><div style="text-align: left;">Aku yakin, Anda tentu tidak akan memilih botol yang masih misteri. Kalau ada yang jelas, ngapain milih yang nggak jelas, ya nggak?!</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Lalu, bagaimana pendapat Anda dengan orang yang tetep ngotot meminum air dalam botol misterius meskipun sudah mendengar kabar dari orang-orang bahwa air dalam botol bisa jadi mengandung racun???</div><div style="text-align: left;">Silakan Anda beri penilaian sendiri. Kalau aku akan menilai, “Nih orang aneh banget sih. Ada yang jelas, kok malah milih yang nggak jelas!!!”.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Oke, sekarang begini. Bagaimana pendapat Anda dengan orang-orang yang melakukan suatu peribadatan (perayaan, dzikir, shalawat, dll) yang tidak dikerjakan oleh Rosululloh dan para Sahabatnya? Padahal begitu banyak peribadatan lain yang jelas-jelas dikerjakan oleh Rosululloh dan para Sahabatnya? Tidakkah Anda menganggapnya sebagai orang yang aneh???</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sahabatku yang aku cintai karena Alloh….</div><div style="text-align: left;">Islam ini sudah sempurna. Segala sesuatu yang bisa mendekatkan kita ke Surga dan menjauhkan dari Neraka telah dijelaskan oleh Rosululloh kepada kita. Kenapa kita tidak merasa cukup dengan apa yang telah jelas datang dari Rosululloh? Kenapa kita justru senang melakukan ibadah yang tidak ada contohnya dari beliau???</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Sungguh teramat banyak amalan ibadah yang sudah jelas-jelas ada contohnya dari Rosululloh. Kalau kita ingin melakukan semuanya, bisa jadi banyak diantara kita yang merasa tidak sanggup. Lalu, kenapa kita masih mencari yang tidak jelas ada contohnya dari Rosululloh dan para sahabatnya.???</div><div style="text-align: left;">Sahabatku yang aku cintai karena Alloh…</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Marilah kita cukupkan diri dengan ibadah yang ada contohnya dari Rosululloh dan para Sahabatnya. Insya kita akan selamat.</div><div style="text-align: left;"><br />
</div><div style="text-align: left;">Jangan sampai kita capek-capek melakukan ibadah yang tidak ada contohnya dari Rosululloh dan para Sahabatnya, tapi kemudian amalan ibadah kita itu ditolak oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.</div>Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:<br />
<br />
<i>“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)</i><br />
Sahabatku…<br />
<a href="http://pustakalaka.wordpress.com/2011/08/11/lukisan-terindah-di-dunia/" target="_blank">Di antara nikmat terbesar yang Alloh anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana dalam firman-Nya:</a><br />
<h3 style="text-align: right;"><b>[</b> الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا<b>]</b></h3><div style="text-align: center;"><i>Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagi kalian</i>. (QS. al-Maidah [5]: 3)</div><div style="text-align: center;"><br />
</div>Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah, Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada Jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”. (<i>Tafsir Al-Qur’anil Azhim</i> 3/23.)<br />
<br />
Dengan sempurnanya Islam, maka segala perbuatan <a href="http://pustakalaka.wordpress.com/2011/07/31/wasiat-perpisahan/" target="_blank">bid’ah (ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rosululloh dan para Sahabatnya) </a>dalam agama berarti suatu kelancangan terhadap syari’at dan ralat terhadap pembuat syari’at bahwa masih ada permasalahan yang belum dijelaskan. Imam Malik bin Anas <i>rohimahulloh</i> mengeluarkan perkataan emas tentang ayat ini. Beliau berkata:<br />
<br />
<i>“Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad</i> Shollallohu ‘alaihi wa Sallam <i>mengkhianati risalah, karena </i><i>Alloh</i> Subhanahu wa Ta’ala <i>berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” Maka apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi</i> <i>) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama</i>. (<i>Al-I’tisham</i> 1/64-65 Imam Syatibi, tahqiq Salim al-Hilali.)<br />
Camkanlah baik-baik perkataan berharga dari Imam yang mulia ini, niscaya kita akan mengetahui betapa bahayanya perkara bid’ah dalam agama.<br />
<br />
Sahabatku…<br />
Marilah kita renungi perkataan berikut ini…<br />
<br />
Hudzaifah bin Al Yamaan رضي الله عنه, salah seorang Sahabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم<b> </b>berkata:<br />
“<b><i>Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah </i></b> صلى الله عليه وسلم <b><i>sebagai ibadah, maka janganlah kalian lakukan !</i></b><i> </i><i>”</i> (dinukil dari kitab Imaam Ibnu Baththah رحمه الله yang berjudul “<b><i>Al Ibaanah</i></b>”)<br />
Kawan…<br />
Pertanyaan terakhirku kepada kalian semua:<br />
<div style="text-align: center;"><b>MASIHKAN ENGKAU AKAN MEMINUM AIR DALAM BOTOL MISTERIUS, PADAHAL MASIH BANYAK BOTOL-BOTOL LAINNYA YANG SUDAH JELAS MENGANDUNG AIR YANG MENYEHATKAN BADAN ???</b></div><div style="text-align: center;"><a href="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol4.jpeg"><img alt="" class="aligncenter size-full wp-image-1833" height="225" src="http://pustakalaka.files.wordpress.com/2011/08/botol4.jpeg?w=225&h=225" title="botol4" width="225" /></a></div><div style="text-align: center;">Silakan kalian jawab sendiri….</div><div style="text-align: center;">Wallohu a’lam.</div>Catatan:<br />
<a href="http://pustakalaka.wordpress.com/2011/07/31/wasiat-perpisahan/" target="_blank">Imam asy-Syâthibi rahimahullâh (wafat th. 790 H) mengatakan, “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allâh Ta’ala.” Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.</a><br />
<br />
=========================================================================<br />
*sumber: <a href="http://pustakalaka.wordpress.com/2011/08/23/sebuah-botol-misteri/">http://pustakalaka.wordpress.com/2011/08/23/sebuah-botol-misteri/</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4738109807675199753.post-59210906814384776422011-09-07T12:29:00.001+07:002011-09-07T16:54:31.082+07:00Pelawak mendapat Pahala karena menghibur orang lain.. Ah masa sih?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_AK1BtsLMf0ilbSDbsnXAF_o2YTBCfalD9M-3eIGr3cddlqyqgIdp7y5v9iKU_7-eHL8BFM4T9J3ahWpHlczs8q7DzxuorzOUIq3yB3GCIimBsvdECy8UTIU10oMu8iwlFfS60wwTxZ8/s1600/imagces.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_AK1BtsLMf0ilbSDbsnXAF_o2YTBCfalD9M-3eIGr3cddlqyqgIdp7y5v9iKU_7-eHL8BFM4T9J3ahWpHlczs8q7DzxuorzOUIq3yB3GCIimBsvdECy8UTIU10oMu8iwlFfS60wwTxZ8/s1600/imagces.jpg" /></a><span style="font-size: small;"></span></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><span style="font-size: small;">Dari zaman eyang kita sampe mungkin nanti zaman cucu-cucu kita, keberadaan acara komedi pastilah akan terus melengkapi layar televisi kita.. bahkan saat ini profesi pelawak atau komedian dinilai mendatangkan pahala karena membuat orang lain tertawa sehingga berkurangnya tingkat 'stres' seseorang.. benarkah? Ah masa sih? yang bener? </span></div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><br />
</div><div style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="margin: 0in 0in 0.0001pt;">Dari Abdullah bin Amir radhiallahu anhu dia berkata:</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<b>دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ</b></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<i>“Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata, “Hai kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bertanya kepada ibuku, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ibuku, “Ketahuilah, jika kamu tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai kebohongan atasmu.” </i>(HR. Abu Daud no. 4991 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 748)</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<b>وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ</b></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<i>“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”</i> (HR. Abu Daud no. 4990, At-Tirmizi no. 2315, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7136)</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<b>كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ</b></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<i>“Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” </i>(HR. Muslim no. 5</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
Abu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<b>بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوا</b><b><span style="font-weight: normal;"></span></b></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
<i>“Seburuk-buruk bekal yang dimiliki oleh seseorang (dalam berbicara) adalah ungkapan ‘menurut sangkaan mereka’.”</i> (HR. Abu Daud no. 4872 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 866)</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
Maksudnya: Dia menyampaikan berita kepada orang lain hanya berdasarkan berita yang tidak jelas atau sangkaan-sangkaan orang saja.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><b>Penjelasan ringkas:</b></div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
Berdusta adalah dosa besar dan telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada seluruh keadaan. Baik itu berdusta kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak, baik orang yang mendengar belum tahu itu dusta maupun orang yang mendengar sudah tahu itu dusta (misalnya cerita lucu yang semuanya sudah paham kalau cerita itu hanya karangan), baik dustanya menyebabkan orang lain terzhalimin maupun tidak. Semuanya merupakan kedustaan yang diharamkan atas setiap muslim untuk terjatuh di dalamnya.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">Di antara kedustaan yang biasa tersebar di tengah-tengah manusia dan dianggap enteng oleh kebanyakan di antara mereka adalah:</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
1. Berdusta kepada anak kecil dengan anggapan mereka masih kecil.<br />
Termasuk di dalamnya mengingkari janji kepada anak kecil atau menjawab pertanyaan anak kecil dengan jawaban dusta.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">2. Menceritakan kedustaan kepada orang lain, baik sesuatu yang lucu maupun tidak. Baik di dalamnya mengandung pelajaran yang baik maupun tidak. Semua bentuk cerita fiktif atau karangan atau dongeng atau yang semacamnya tidak boleh diceritakan karena isinya merupakan kejadian yang tidak pernah terjadi, karenanya ceritanya dikatakan kedustaan.<br />
Alasan di dalam kisahnya terdapat pelajaran dan nilai pendidikan tidaklah bisa menjadikan kedustaan itu menjadi halal.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">3. Melawak dengan menceritakan cerita dusta, baik orang yang mendengarnya tertawa maupun tidak, baik pendengar mengira itu adalah cerita sungguhan maupun mereka sudah tahu kalau cerita itu adalah dusta.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">4. Berdusta dalam ucapan keseharian agar dirinya tidak kena marah atau agar dirinya tidak dihina oleh manusia.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">5. Menceritakan semua kabar yang dia dengar. Hal itu karena dalam kehidupan sehari-hari dia pasti akan mendengarkan kabar yang benar dan kabar yang benar. Karenanya tatkala dia menceritakan semua yang dia dengar, maka pasti suatu ketika dia akan terjatuh dalam kedustaan dengan menceritakan kabar yang tidak benar.</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;"><br />
</div><div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0in;">6. Menceritakan sesuatu yang belum jelas sumbernya atau belum jelas benar tidaknya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in;"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com1